Bersama orang peng'agenda (Openg) dan bertumpuk rencana pembikin mual pikiran dan muntah.
Semasa penjajahan yang tak pernah usai dengan sebuah cambukan atas komplotan pembangkang penentang belanda memang sudah menjadi cerita sampai makanan sehari-hari bagi gerombolan “geng” yang menamakan mahasiswa backing’an pembuat agenda dan rencana, disitulah awal dari pengerutu menemukan pekerjaanya.
Akulah yang menjadi audience (pendengar) sempat mempermasalahkan dan memenuhi pikiran yang sebal dan bebal akan itu, gunjingan demi gunjingan terlontar tampa filter hingga teman ku memukul pundak ku dan berkata hey, sudah-sudah aku malu dengan hal ini, tak tahu kenapa, padahal kan sekarang mengerutu (aku menyebutnya) sekarang ini sudah tak mampu menyelsaikan suatu masalah baik yang nampak maupun yang kelihatan, sehingga lambaian demi lambaian ku ini melewati si Openg ini, sebenarnya aku ini sedikit mempermasalahkan mahasiswa yang sukanya meng’agendakan serta Cuma bisa obral omongan (orang jombang menyebutnya ndawuh) lantas mendapat tambahan masalah tentang kejenuhanku mendegarkan ocehan yang makin menaiki stadium lanjut ini, hampir setiap kegiatan yang kalau orang jakarta menyebutnya berjubel begitulah padahal faktanya tak seperti itu walaupun kenyataanya seperti itu.
Dari keresahan yang cukup binggung untuk menuliskanya sehingga aku berenggapan orang sangat susah untuk mengerti tulisan ku diawal cerita ini, membenci Openg adalah pokok dari hal ini walau di bumbui oleh benyak hal tidak jelas yang dapat membuat cerita ini yang dasaranya tidak jelas menjadi tidak jelas, tapi hal ini menurutku sangat berbahaya disaat semua pandai dalam mengagendakan sesuatu membuat kadar konsumsi konsepsi menjadi lebih meningkat dan efeknya menjadikan menurunya sikap terjun langsung dan berbuat begitulah aku menyebutnya, menjadi menurun.
Jelasnya kan begini, jika semua orang dan mahasiswa khusunya dan lebih spesifiknya adalah teman-temanku sendiri menjadi lebih memusingkan jikalau mereka cuma bisa merencanakan, mencanangkan, meng’agendakan, membuat konsep, pokoknya cuma bisa turen (tukang perencana) bisa-bisa jengkelisme-jengkelisme bahkan malesisime menjadi meningkat sehingga fluktuasi akan mahasiswa menurun dan kredibilitas yang awalnya di ragukan menjadi makin diragukan, kan pada kenyataanya mahasiwa sudah diragukan dengan banyak fakta jelek melekat dikalangan mahasiswa seperti : mahasiswa yang menjual diri, mahasiswa yang lulus tapi jadi pengangguran, mahasiswa yang tak tahu apa-apa, mahasiswa backing’an, mahasiswa nitip ijazah, mahasiswa koar-koar, mahasiswa tak konsisten dengan idealisme, mahasiswa ngobyekan, mahasiswa eksis, mahasiswa alay, mahasiswa penjilat, dan lain sebagainya, bahkan kita tahu sendiri tingkat kepercayaan publik akan mahasiswa termasuk aku juga mahasiswa menjadi semakin fluktuatif dan berdampak jangkan panjang secara nasional.
Bagaimana keharusan yang dilakukan dalam pengembalian Si Openg ini, pencarian akan ide dan informasi penyelsaian menjadi kunci pokok sehingga pergulatan dalam batin pun ikutan (mbatin) kepekaan sosial yang untuk awal yang aku rencanakan untuk menyadarkan rentetan sosial lalu masuk ke adaptasi sampai pada pemakluman, penyadaran, hingga ke bukti real dalam pemanfaatan mahasiswaatau efesiensi guna mahasiswa dan idealisme yang sebenarnya punya andil besar dalam ber-partisipasi atas sesama manusia.
Akulah yang menjadi audience (pendengar) sempat mempermasalahkan dan memenuhi pikiran yang sebal dan bebal akan itu, gunjingan demi gunjingan terlontar tampa filter hingga teman ku memukul pundak ku dan berkata hey, sudah-sudah aku malu dengan hal ini, tak tahu kenapa, padahal kan sekarang mengerutu (aku menyebutnya) sekarang ini sudah tak mampu menyelsaikan suatu masalah baik yang nampak maupun yang kelihatan, sehingga lambaian demi lambaian ku ini melewati si Openg ini, sebenarnya aku ini sedikit mempermasalahkan mahasiswa yang sukanya meng’agendakan serta Cuma bisa obral omongan (orang jombang menyebutnya ndawuh) lantas mendapat tambahan masalah tentang kejenuhanku mendegarkan ocehan yang makin menaiki stadium lanjut ini, hampir setiap kegiatan yang kalau orang jakarta menyebutnya berjubel begitulah padahal faktanya tak seperti itu walaupun kenyataanya seperti itu.
Dari keresahan yang cukup binggung untuk menuliskanya sehingga aku berenggapan orang sangat susah untuk mengerti tulisan ku diawal cerita ini, membenci Openg adalah pokok dari hal ini walau di bumbui oleh benyak hal tidak jelas yang dapat membuat cerita ini yang dasaranya tidak jelas menjadi tidak jelas, tapi hal ini menurutku sangat berbahaya disaat semua pandai dalam mengagendakan sesuatu membuat kadar konsumsi konsepsi menjadi lebih meningkat dan efeknya menjadikan menurunya sikap terjun langsung dan berbuat begitulah aku menyebutnya, menjadi menurun.
Jelasnya kan begini, jika semua orang dan mahasiswa khusunya dan lebih spesifiknya adalah teman-temanku sendiri menjadi lebih memusingkan jikalau mereka cuma bisa merencanakan, mencanangkan, meng’agendakan, membuat konsep, pokoknya cuma bisa turen (tukang perencana) bisa-bisa jengkelisme-jengkelisme bahkan malesisime menjadi meningkat sehingga fluktuasi akan mahasiswa menurun dan kredibilitas yang awalnya di ragukan menjadi makin diragukan, kan pada kenyataanya mahasiwa sudah diragukan dengan banyak fakta jelek melekat dikalangan mahasiswa seperti : mahasiswa yang menjual diri, mahasiswa yang lulus tapi jadi pengangguran, mahasiswa yang tak tahu apa-apa, mahasiswa backing’an, mahasiswa nitip ijazah, mahasiswa koar-koar, mahasiswa tak konsisten dengan idealisme, mahasiswa ngobyekan, mahasiswa eksis, mahasiswa alay, mahasiswa penjilat, dan lain sebagainya, bahkan kita tahu sendiri tingkat kepercayaan publik akan mahasiswa termasuk aku juga mahasiswa menjadi semakin fluktuatif dan berdampak jangkan panjang secara nasional.
Bagaimana keharusan yang dilakukan dalam pengembalian Si Openg ini, pencarian akan ide dan informasi penyelsaian menjadi kunci pokok sehingga pergulatan dalam batin pun ikutan (mbatin) kepekaan sosial yang untuk awal yang aku rencanakan untuk menyadarkan rentetan sosial lalu masuk ke adaptasi sampai pada pemakluman, penyadaran, hingga ke bukti real dalam pemanfaatan mahasiswaatau efesiensi guna mahasiswa dan idealisme yang sebenarnya punya andil besar dalam ber-partisipasi atas sesama manusia.