Jumat, 22 Juli 2016

Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi Savitri Scheler


Membahas, Bagaimanakah dan sejak kapan serta lantaran apakah sasterawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer menjadi Kiri, menggabungkan kerja-kerja sastra dengan politik?

Buku yang semula adalah disertasi Savitri Scherer ini menjawabnya. Savitri bukan saja menjelajahi biografi Pram, tetapi juga hubungan antara dunia nyata dan dunia fiksinya. Savitri pun tak merasa cukup hanya membongkar struktur kompleks mediasi antara Pram dan dunia kreatifnya dengan memperhatikan suasana juga kekuatan-kekuatan sosial, kebudayaan, politik yg gegap gempita oleh pertarungan ideologi dan semangat zaman penuh intrik polemik pemenjaraan dari periode 1950–1980 yang dialami serta mempengaruhinya. Lebih jauh Savitri menelusuri pandangan-pandangan sosial dan politik Pram untuk memahami karir sastranya, seraya menilai tanggapan-tanggapannya terhadap norma-norma sosial dan sastra pada masanya.

Sebab itu sekali lagi Savitri dengan buku ini –seperti buku yang sebelumnya telah ditulis Keselarasan dan Kejanggalan –menyumbangkan suatu model sejarah pemikiran yang bukan saja kaya informasi, tetapi juga membuat kedirian Pram dapat lebih dalam dipahami.

Tulisan Pram menjadi kiri, semua itu lantaran Pram sadar sepenuhnya tentang sastra yang memihak pada rakyat.

Tanggal 6 Februari adalah hari kelahiran sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer. Lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan wafat 30 April 2006. Namanya melegenda sebagai sastrawan yang melahirkan karya besar yang termasyhur: tetralogi (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

Tetralogi bukan sekedar novel biasa. Novel ini lahir kala Pram, demikian Pramoedya Ananta Toer biasa disapa, bersattus sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Tetralogi terbit dalam kurun waktu 1980-1988 ini sempat dilarang Kejaksaan Agung RI. Padahal novel ini berkisah seputar pembentukan nasionalisme kebangsaan Republik Indonesia, kisah pahlawan pers pribumi Tirto Adhi Soerjo yang ditamsilkan dalam tokoh Minke.

Laiknya aturan, semakin banyak aturan semakin banyak pula pelanggaran. Novel-novel Pram yang merefleksikan perlawanan pada penguasan rezim orde baru justru kian diburu pembaca. Mahasiswa merasa naik kelas intelektualitasnya dengan menenteng novel Pram.

Membaca dan mengoleksi novel-novel Pram adalah melambangkan perlawanan para rezim Soeharto. Pasalnya sebagian bear novel Pram dilarang oleo kejaksaan aging. Selain tetralogi, novel lain yang dilarang terbit adalah: Sang Pemula (1985), Hikayat Siti Maria (1987), Memoar Oei Tjoe Tat (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995).

Mengapa Pram yang hanya menjadi penulis itu menjadi sedemikian menakutkan penguasa pada waktu itu? Apakah hanya lantaran ia dulunya aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat – sayap kebudayaan PKI), yang berujung nasibnya selama 14 tahun menjadi tahanan politik tanpa pengadilan, dengan 10 tahun diantaranya dibui di penjara alam Pulau Buru?

Benarkah Pram membawa misi ideologi tertentu dalam karya-karyanya? Pertanyaan-pertanyaan di atas yang mencoba dijawab dalam buku “Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi”, karya Savitri Scherer. Buku ini semua adalah karya akademis Savitri untuk melengkapi disertasi thesis master bidang sejarah di Universitas Cornell, 1975.

Buku ini mencoba mengupas karya Pram dalam kurun waktu 1950-1965. Pada rentang waktu itu Pram melahirkan tulisan yang memiliki ruh berbeda-beda. Mulai dari ruh: urban dan keterasingan budaya, ruh yang mempertanyakan kebijakan prasangka anti komunis, minoritas tionghoa.

Dan ruh yang paling krusial dalam tulisan Pram adalah pada periode 1963-1965 di mana Pram terlibat dalam debat sengit dalam polemik sastra – utamanya dua arus utama sastra humanis universal versus realis sosialis.

Savitri berpendapat tulisan Pram sangat dipengaruhi oleh latar kekuatan sosial, kebudayaan dan politiknya. “Karya Pram merefleksikan prinsip yang dibawa pada masanya,” kata Savitri dalam peluncuran buku, Rabu (01/2).

Namun Ajip Rosidi, yang memberi kata pengantar dalam buku ini, memiliki penilaian sendiri bahwa bergesernya tulisan Pram menjadi kiri tidak dapat dilepaskan dari kesulitan hidup yang dialaminya. “Situasi rumah tangga Pram ikut menentukan langkah Pram ke kiri,” tulis Ajip.

Pram mengakui dalam karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, orang yang membuka matanya terhadap kenyataan sosial dan arti penting rakyat adalah A.S Dharta, Sekretaris Jenderal Lekra. Ajip menyebut Dharta yang memberi pekerjaan pada Pram untuk menerjemahkan buku karya Maxim Gorki, Mother, yang kemudian diberi judul Ibunda. Order buku inilah yang menyelamatkan periuk nasi Pram dan keluarga.

Savitri memiliki penilaian sendiri soal karya Pram yang disebutnya sebagai tidak membiarkan berada di luar rakyat. Pram telah meleburkan dirinya dalam masyarakat sekitar. Pram sangat sadar kalau penulis tidak dapat lepas dari masyarakat yang membentuknya. Penulis tak butuh suatu ideologi yang menyetirnya untuk lahirnya sebuah inspirasi. Bahwa tulisan Pram menjadi kiri, semua itu lantaran Pram sadar sepenuhnya tentang sastra yang memihak pada rakyat. Tidak lebih tidak kurang!