Tiga lekaki muda berbicara hingga larut malam dengan kamar terkunci dan lampu dipadamkan. Hawa dingin menelisik melalui cela-cela dinding, kipas angin pun dimatikan dan asap rokok memburamkan pandanganku. Semua tenggelam dalam nostalgia remaja-remaja desa yang berani menyembunyikan bahagia. Selusin cerita tentang kekonyolan dan perkelaminan menjadi tema utama. Sepertinya semua jadi tak penting bila dibandingkan dengan dugaan-dugaan kami tentang masa depan yang lebih menyakinkan diri sendiri. Tak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi, semua mengalir dan membuat kami tertawa hingga pukul dua dini hari. Namun hal itu membuatku bertanya, kenapa hal-hal seperti ini lebih membuatku tak menyadari bahwa waktu itu begitu cepat berlalu, dibandingkan melakukan usaha menepati kewajiban atau meninggalkan pantangan.
Hampir semua pemuda seperti kami lebih memilih berbincang berjam-jam di warung kopi plus wi-fi, dibanding membaca tahlil di rumahnya sendiri atau sholat berjamaah di masjid dekat rumah.
Itulah kenyataanya kini, dimana lebih ramai warung kopi dan rumah sakit dibandingkan masjid ataupun musholla. Bukan masalah degradasi moral atau rendahnya kesadaran pemuda-pemudi. Tapi ini persoalah kenapa skenario hidup di jaman ini seperti ini. Adakah tuhan menghendaki misteri dengan menunjukan anomali (keanehan) hidup yang syarat kemunafikan. Atau ini hanya pintu menuju kiamat yang telah digariskan.
Disetiap pembicaraan kami, selalu ada terkaan dan prasangka akan masa datang. Berbicara mengenai masa-masa dimana semua indah jika bersama, hingga masa-masa dimana semua yang awalnya bersama lebih baik berpisah dan menjalani semua tentang masa depannya sendiri-sendiri. Itulah kami, kami memilih nostalgia dibandingkan menyendiri dan resah memikirkan masa depan didalam kamar dengan jendela terkunci dan asap rokok yang menyesakkan. Kami memertanyakan kenapa dan kenapa? Tentang apapun yang pernah terjadi dalam hidup kami sendiri-sendiri. Waktu semua lelap dan gitar kami taruh disamping televisi yang menyala. kami telah menghabiskan banyak rokok berbagai merk hingga menjadi abu dan asap. Kami duduk melingkar sambil saling menatap mata-mata munafik yang menyembunyikan banyak keluh-kesah hidup.
Sampai kami merasa lelah untuk terus bicara mengenai masa depan. Untuk memilih menjalani semua yang sudah kami pilih sebagai jalan. Kamilah tiga pemuda yang berbicara tanpa mau bertindak mengenai apapun yang kami rasa itu salah. Kami munafik karena kami resah dan kecewa menghadapi hidup.
Tulisan ini diadaptasi dari perbincangan malam kamis tiga pemuda yang sedang menjalani masa akhir perkualiahan, yang mungkin kami sendiri sudah melupakannya, karena itu sekedar pelampiasan.
Hampir semua pemuda seperti kami lebih memilih berbincang berjam-jam di warung kopi plus wi-fi, dibanding membaca tahlil di rumahnya sendiri atau sholat berjamaah di masjid dekat rumah.
Itulah kenyataanya kini, dimana lebih ramai warung kopi dan rumah sakit dibandingkan masjid ataupun musholla. Bukan masalah degradasi moral atau rendahnya kesadaran pemuda-pemudi. Tapi ini persoalah kenapa skenario hidup di jaman ini seperti ini. Adakah tuhan menghendaki misteri dengan menunjukan anomali (keanehan) hidup yang syarat kemunafikan. Atau ini hanya pintu menuju kiamat yang telah digariskan.
Disetiap pembicaraan kami, selalu ada terkaan dan prasangka akan masa datang. Berbicara mengenai masa-masa dimana semua indah jika bersama, hingga masa-masa dimana semua yang awalnya bersama lebih baik berpisah dan menjalani semua tentang masa depannya sendiri-sendiri. Itulah kami, kami memilih nostalgia dibandingkan menyendiri dan resah memikirkan masa depan didalam kamar dengan jendela terkunci dan asap rokok yang menyesakkan. Kami memertanyakan kenapa dan kenapa? Tentang apapun yang pernah terjadi dalam hidup kami sendiri-sendiri. Waktu semua lelap dan gitar kami taruh disamping televisi yang menyala. kami telah menghabiskan banyak rokok berbagai merk hingga menjadi abu dan asap. Kami duduk melingkar sambil saling menatap mata-mata munafik yang menyembunyikan banyak keluh-kesah hidup.
Sampai kami merasa lelah untuk terus bicara mengenai masa depan. Untuk memilih menjalani semua yang sudah kami pilih sebagai jalan. Kamilah tiga pemuda yang berbicara tanpa mau bertindak mengenai apapun yang kami rasa itu salah. Kami munafik karena kami resah dan kecewa menghadapi hidup.
Tulisan ini diadaptasi dari perbincangan malam kamis tiga pemuda yang sedang menjalani masa akhir perkualiahan, yang mungkin kami sendiri sudah melupakannya, karena itu sekedar pelampiasan.
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar