Dikotomi pemahaman manusia memang berbeda-beda. Masing-masing memiliki pola pikir
sendiri-sendiri. Percayalah bahwa perbedaan pola pikir mereka bakalan sukar menemukan titik temu, karena mereka berangkat dari logika yang jelas berbeda. Lantas bagaimana dengan menyakinkan, bukankah menyakinkan adalah ilusi buatan yang diciptakan akal untuk sebuah tujuan. Semuanya memang bisa dijelaskan, begitulah manusia. Padahal masih banyak yang sulit bahkan tidak mungkin terjelaskan dengan akal manusia. Benarkah?
Sifat manusiawi kitalah yang menutupi. Menutupi apa? apa yang ditutupi? Sadarkah bahwa apa yang kita lihat adalah tipuan yang kita ciptakan sendiri. Bagaimana bisa kita percaya bahwa hari ini hujan jika kita tidak melihat halaman rumah kita basah oleh air. Apakah seperti itu pola pikir kita. Atau bagaimana kita bisa kenyang jika 1hari 24 jam kita tidak makan.
Apa yang sekarang kita yakini dan diyakini banyak orang belum bisa menjamin kebenarannya. Kepastiannyapun tidak 100%. Coba kita telaah secara mendetail menurut pengalaman sendiri-sendiri, karena saya tidak akan memberikan contohnya. Sekali lagi bagaimana bisa kita percaya dan yakin bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Mengapa itu terus diyakini hampir semua orang. Bukannya pengalaman itu cukup menghabiskan waktu. Keraguan memang perlu untuk membuktikan sebuah ketepatan, bukan kebenaran. Terlalu banyak kebenaran yang sudah kita ciptakan sendiri sehingga maklum jika banyak dari kita yang semakin acuh dengan kepastian atau hukum yang berlaku. Apa karena kepercayaan yang menurun, keraguan yang meningkat, atau inkonsisten manusia yang berlebih mungkin juga kemunafikan yang overdiosis.
Banyak yang perlu dijelaskan dari tulisan ini. Lantas bernahkah semua hal itu perlu penjelasan jika penjelasan hanya berguna untuk menyakinkan kita sendiri. Kita terkadang sukar meng’amini bahkan menyakini apapun yang sulit diterima nalar. Logika manusia sangatlah rentan dengan itu, namun ada beberapa manusia yang rela menyakini banyak hal yang tak terjelaskan bahkan tak logis sama sekali bagi manusia lainnya. Lalu untuk apa mereka melakukan itu. Apakah hanya untuk menjadi penyeimbang dan pembeda dari manusia lainnya. Oposan diantara mayoritas.
Ini adalah penjelasan untuk segala kerumitan dalam memahami maksud tulisan ini. Kita pasti pernah memikirkan apapun yang sebenarnya tidak penting bagi kita, bahkan kita sering menyimpannya dalam waktu yang begitu lama. Mengendap, menguap, hingga menyublim kembali. Logika kita terbatas dalam menjelaskan bermilyar realitas hidup. Sehingga hanya dengan memakluminya kita bakalan mengenal yang namanya kompromi. Semua yang rumit menjadi lenyap, padahal sebenarnya tidak. Karena kita kompromi dengan diri sendirilah hal itu bakalan terjadi.
Mencapai kebijaksanaan dalam menerima kekurangan dengan memaksimalkan kelebihan menjadi pelarian yang tepat. Kemampuan setiap orang-orang memang berbeda-beda dan itu bukanlah alasan untuk saling merendahkan lainnya. Kelebihan orang juga sama seperti itu, maka jangan suka menyombongkan kelebihan yang jelas-jelas hanya titipan itu. Namun ini tak sesederhana itu. Kita yang tau kalau melakukan hal yang dilarang adalah dosa tapi kita masih saja melakukan itu. Semua memang tak segampang kelihatannya. Maka dari itu kita sebagaimana manusia abad 22 perlu mengkaji kembali pengalaman hidup. Apakah kita sudah pernah merasakan keontentikan pengalaman?
sendiri-sendiri. Percayalah bahwa perbedaan pola pikir mereka bakalan sukar menemukan titik temu, karena mereka berangkat dari logika yang jelas berbeda. Lantas bagaimana dengan menyakinkan, bukankah menyakinkan adalah ilusi buatan yang diciptakan akal untuk sebuah tujuan. Semuanya memang bisa dijelaskan, begitulah manusia. Padahal masih banyak yang sulit bahkan tidak mungkin terjelaskan dengan akal manusia. Benarkah?
Sifat manusiawi kitalah yang menutupi. Menutupi apa? apa yang ditutupi? Sadarkah bahwa apa yang kita lihat adalah tipuan yang kita ciptakan sendiri. Bagaimana bisa kita percaya bahwa hari ini hujan jika kita tidak melihat halaman rumah kita basah oleh air. Apakah seperti itu pola pikir kita. Atau bagaimana kita bisa kenyang jika 1hari 24 jam kita tidak makan.
Apa yang sekarang kita yakini dan diyakini banyak orang belum bisa menjamin kebenarannya. Kepastiannyapun tidak 100%. Coba kita telaah secara mendetail menurut pengalaman sendiri-sendiri, karena saya tidak akan memberikan contohnya. Sekali lagi bagaimana bisa kita percaya dan yakin bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Mengapa itu terus diyakini hampir semua orang. Bukannya pengalaman itu cukup menghabiskan waktu. Keraguan memang perlu untuk membuktikan sebuah ketepatan, bukan kebenaran. Terlalu banyak kebenaran yang sudah kita ciptakan sendiri sehingga maklum jika banyak dari kita yang semakin acuh dengan kepastian atau hukum yang berlaku. Apa karena kepercayaan yang menurun, keraguan yang meningkat, atau inkonsisten manusia yang berlebih mungkin juga kemunafikan yang overdiosis.
Banyak yang perlu dijelaskan dari tulisan ini. Lantas bernahkah semua hal itu perlu penjelasan jika penjelasan hanya berguna untuk menyakinkan kita sendiri. Kita terkadang sukar meng’amini bahkan menyakini apapun yang sulit diterima nalar. Logika manusia sangatlah rentan dengan itu, namun ada beberapa manusia yang rela menyakini banyak hal yang tak terjelaskan bahkan tak logis sama sekali bagi manusia lainnya. Lalu untuk apa mereka melakukan itu. Apakah hanya untuk menjadi penyeimbang dan pembeda dari manusia lainnya. Oposan diantara mayoritas.
Ini adalah penjelasan untuk segala kerumitan dalam memahami maksud tulisan ini. Kita pasti pernah memikirkan apapun yang sebenarnya tidak penting bagi kita, bahkan kita sering menyimpannya dalam waktu yang begitu lama. Mengendap, menguap, hingga menyublim kembali. Logika kita terbatas dalam menjelaskan bermilyar realitas hidup. Sehingga hanya dengan memakluminya kita bakalan mengenal yang namanya kompromi. Semua yang rumit menjadi lenyap, padahal sebenarnya tidak. Karena kita kompromi dengan diri sendirilah hal itu bakalan terjadi.
Mencapai kebijaksanaan dalam menerima kekurangan dengan memaksimalkan kelebihan menjadi pelarian yang tepat. Kemampuan setiap orang-orang memang berbeda-beda dan itu bukanlah alasan untuk saling merendahkan lainnya. Kelebihan orang juga sama seperti itu, maka jangan suka menyombongkan kelebihan yang jelas-jelas hanya titipan itu. Namun ini tak sesederhana itu. Kita yang tau kalau melakukan hal yang dilarang adalah dosa tapi kita masih saja melakukan itu. Semua memang tak segampang kelihatannya. Maka dari itu kita sebagaimana manusia abad 22 perlu mengkaji kembali pengalaman hidup. Apakah kita sudah pernah merasakan keontentikan pengalaman?