Sudah berapa kali kita mencatat kejanggalan yang terjadi diluar diri kita. Semacam ketidak sesuaian. Entah perilaku orang, keadaan lingkungan, yang meliputi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan segala macam bentuk pengkotak-kotakan apapun diluar diri kita. Kalau bagiku, sudah tak terhingga berapa kalinya. Atau entah bagaimana semuanya ini selalu meliputi hakikat kita sebagai manusia. Yang sekarang sedang diuji tampa henti oleh yang Maha-Kuasa. Mungkin aku mengiranya, bahwa kita sebagai manusia. Sedang disuguhi oleh berbagai macam pendewasaan yang dibentuk dari berbagai unsur permasalahan yang bukan saja berat atau membebankan. Namun juga, pusing jika dipikirkan. Contoh sederhananya saja, saat seorang mahasiswa sedang binggung mengerjakan tugas kuliah. Yang tugasnya cuma menuliskan sebuah makalah yang datanya bisa dicari melalui media-online dengan mudah dan gampang. Dan mahasiswa tersebut tinggal mempelajarinya agar bisa presentasi didepan teman-teman mahasiswanya. Karena rata-rata tugasnya mahasiswa yang pokok untuk awal-awal perkuliahan, adalah membuat makalah lalu mempresentasikannya. Begitu saja, ituloh sudah mengeluhnya minta ampun. Alasannya ribet, malas, atau bahkan kadar kemauan untuk belajar mahasiswanya saja yang begitu kurang untuk benar-benar serius untuk kuliah dan mengemban tugas sebagai mahasiswa, yang tanggung jawabnya besar.
Bukan hanya kepada dirinya sendiri. Namun juga kepada apapun selain dirinya. Tetapi itu cuma bentuk dari salah satu contoh, dari ketidak sanggupan manusia menerima sebuah ketetapan dan tanggungjawab untuk menempuh sebuah proses pendewasaan yang skalanya kecil bahkan sepele. Sehingga sedikit banyak, bisa menggambarkan kualitas manusia yang semakin hari semakin melemah dalam menghapadi ujian, masalah, tanggung jawab, amanah, kewajiban, tuntutan, dan cara dalam memenuhi keinginan manusia-manusia. Yang semakin banyak atau pola konsumsi, keinginan, harapan, yang tidak diimbangi dengan kemauan dalam mengusahakan agar tercapai dan terealisasi atas apa yang diinginkan supaya benar-benar bisa terealisasikan kepada diri manusia-manusia itu sendiri. Bahwa seharusnya kadar kemampuan manusia sekarang ini haruslah lebih baik dan jelas-jelas tidak seperti sekarang ini. dalam menghadapi sebuah permasalahan, kesenjangan, kemunafikan, bencana, ujian, keos-zaman, pembodohan struktural, pengkerdilan generasi, pelengseran kearifan lokal, pembudidayaan mental kacang’an, atau bahkan yang lebih ekstrem lagi. Produksi manusia-manusia tak berkuaitas melalui lembaga-lembaga yang diciptakan dan konsisten dalam mencetak generasi bodoh masakini.
Bukan hanya kepada dirinya sendiri. Namun juga kepada apapun selain dirinya. Tetapi itu cuma bentuk dari salah satu contoh, dari ketidak sanggupan manusia menerima sebuah ketetapan dan tanggungjawab untuk menempuh sebuah proses pendewasaan yang skalanya kecil bahkan sepele. Sehingga sedikit banyak, bisa menggambarkan kualitas manusia yang semakin hari semakin melemah dalam menghapadi ujian, masalah, tanggung jawab, amanah, kewajiban, tuntutan, dan cara dalam memenuhi keinginan manusia-manusia. Yang semakin banyak atau pola konsumsi, keinginan, harapan, yang tidak diimbangi dengan kemauan dalam mengusahakan agar tercapai dan terealisasi atas apa yang diinginkan supaya benar-benar bisa terealisasikan kepada diri manusia-manusia itu sendiri. Bahwa seharusnya kadar kemampuan manusia sekarang ini haruslah lebih baik dan jelas-jelas tidak seperti sekarang ini. dalam menghadapi sebuah permasalahan, kesenjangan, kemunafikan, bencana, ujian, keos-zaman, pembodohan struktural, pengkerdilan generasi, pelengseran kearifan lokal, pembudidayaan mental kacang’an, atau bahkan yang lebih ekstrem lagi. Produksi manusia-manusia tak berkuaitas melalui lembaga-lembaga yang diciptakan dan konsisten dalam mencetak generasi bodoh masakini.
Sering bicara sana-sini. Keinginannya takpernah diimbangi dengan usaha nyata. Harapannya melebihi unsur-unsur pancasila dan ideologi bangsa. Perilakunya aneh, berbeda dengan apapun yang diucapkan didepan orang lain. Namun selalu mencoba ingin menjadi yang paling peka, dalam menimbang-nimbang segala masalah. Inginnya menciptakan citra dirinya sebagai orang yang paling bersahaja, berbudi baik, bertanggung jawab, rela berkorban jiwa-raga, tak pamrih tapi tak ingin rugi dan ingin dipandang sebagai orang yang paling berkorban tinggi, diantara orang lain selain dirinya sendiri. Namun besar pasak daripada bumi. Tak seimbang, seperti orang yang punya banyak cara untuk memberikan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Tetapi saat ditanya pegalamannya dalam mengambil keputusan atau, apakah pernah melakukannya?. Ternyata takpernah. Kalau begitu syaratkah, bila orang memberikan kebijaksanaannya atau mengarahkan untuk melakukan suatu yang ia sendiri tak pernah melakukannya. Sama saja menyuruh ibadah tapi tapi ia sendiri tak pernah ibadah, menyuruh sabar tapi ia tak bisa sabar. La,,, ndasmu sempal. Bertanya pada orang mengenai bagaimana rasanya digigit ular, tapi ia sendiri tak pernah tau rasanya digigit ular.
Tapi sudah bicara dan ndawuh sakkarepe dewe kalau digigit ular itu rasanya sakit. Itukan semacam ngateli. Namun memang sekarang banyak yang begitu, manusia-manusianya, kelompoknya, organisasinya, lembaganya, pemimpinnya, bahkan negaranya. Sehingga kebinggungan dalam melakukan apa saja hal. Memang cukup bisa dimaklumi dan dikompromi. Karena itu adalah keunggulan kita yang tak kita sadari. Manusia-manusia disini, dilatih untuk sabar, memaklumi segala persoalan, komprosi maksimal mengenai segala keruwetan permasalahan, sabar sampai hati sedikit makar, dan tabah menerima cobaan yang jika diukur oleh kewajaran, hal itu sudah tidak wajar dan kurang ajar. Tetapi inilah namanya kenyataan. Sukar atau tidak harus pintar-pintar mempelajari, agar tak dirugikan. Namun bkan berarti harus oportunis dalam menghadapi segala ujian kesengajaan.
Namun buktinya, generasi sekarang ini masih bisa bertahan. Lebih kerasnya masih hidup, walaupun kelihatanya mati. Seandainya, kemauan selalu diimbangi dengan sebuah usaha yang benar-benar usaha. Optimesme atau sekedar pesimisme. Namun alangkah tidak mampunya aku menentukan sikap, apakah aku ini pesimis atau optimis. Karena aku belum mampu untuk melabeli diriku. Jadi yang kulakukan sekarang ini bukanlah bersikap saja, tetapi usaha agar aku tak Cuma bisa bersikap dan menilai apapun yang diluarku. Namun bagaimanapun manusia. Selalu bisa berusaha, namun untuk hasil bakalan ditetapkan oleh-Nya.