Suaranya lantang
Tatapannya garang
Pegalamannya sudah tak kurang-kurang
Sikapnya tenang
Sambil menunggu cela pembicaraan si korban
Duduk manis mengamati setiap pembicaraan
Sambil berjualan buah dipinggir jalan
Perutnya buncit sepertinya kenyang
Kumisnya panjang menutupi mulut legam-hitam
Setiap bahasanya menunjukan asal-usul daerah asal
Pola pikirnya sudah jauh meliputi segala ruang
Kepekaannya sudah tak pantas untuk diragukan
Apalagi disepelekan sampai diacuhkan
Penjual buah yang siap menghadapi perang
Duduk manis tidur-tiduran
Dipojok gubuk tak terjamah sinar
Telingannya panjang
Menguping segala pembicaraan
Disampingnya mengoceh gerumbulan mahasiswa
Bicaranya tampa arah
Membahas pemilu raya
Menang mana
Prabowo-hatta atau jokowi-jk
Sambil sesekali menatap kepala demi kepala
Tapi kadang tukang buah tak terima
Pendapat mahasiswa bodoh, katanya
Mana ngerti masalah
Walaupun yang dipelajari hanya
Mencari jalan keluarnya saja
Mahasiswa digugat tukang buah
Sampai senja menunjukan kuasa
Dengan gaya juragan cina
Dipotonglah pembicaraan mahasiswa
Tau apa tentang pemilu raya
Sudah berapa, umur adek-adek mahasiswa
Berapa kali merasakan hasil produksi rezim berganti
Apa yang sudah adek-adek mahasiswa lakukan
Dalam memberikan sumbangsi pada kami
Kami rakyat jelata berkaki lima
Gugatan tukang buah masih berlanjut
Sampai senja tak menunjukan sinar
Malam tambah seram
Ditambah kebinggungan mahasiswa
Menerjemahkan gugatan tukang buah
Apapun yang dilakukan adek-adek mahasiswa
Adalah sia-sia
Jika belum ada sumbangsih nyata
Bukan saja omong belaka
Tapi kami, kami ini butuh yang benar-benar ada
Bukan yang cuma diada-ada
Atau sekedar meng’ada
Seperti pemimpin yang diatas sana
Merasa mengurusi kami rakyat jelata
Kebinggungan dengan sistem peninggalan sejarah
Tapi ternyata
Kami tak merasa kalau sedang diurusi
Kami bekerja tampa merekapun tak apa
Tapi kok hina pengakuan mereka
Mereka mengaku, kalau memperjuangkan kami
Padahal kami, tak merasa mereka perjuangkan
Mereka berkata, beras murah bagi rakyat jelata
Padahal kami, binggung memikirkan makan apa nantinya
Mereka bilang, mengutamakan rakyat jelata
Padahal kami, tak ada dalam program kebijakan mereka
Mereka bilang, benar-benar ingin mewakili suara kami
Padahal kami, masih bisa sendiri tampa diwakili
Mereka bilang, apapun yang terjadi kesehjahtraan rakyat adalah harga mati
Padahal kami, cuma mau kejujuran hati nurani
Adek-adek mahasiswa diam dan malu
Mendegarkan realita hidup bicara pada mereka
Dengan bijak tukang buah berkata
Sambil sesekali menepuk pundak adek-adek mahasiswa
Kalian ini masih tak tau apa yang terjadi sebenarnya
Sebagian besar dari kalian
Masih buta akan kenyataan yang semakin nyata
Bahwa apapun yang terjadi
Adek-adek mahasiswa jangan hanya bisa menambah masalah
Diam-diam sajalah
Kalau tak bisa melakukan apa-apa
Cobalah diam dan merenung tapi jangan murung
Apa saja yang adek-adek mahasiswa lakukan selama kuliah
Dan sesekali tengoklah di gubuk ini
Apakah masih ada sekumpulan orang mencari nafkah dengan becaknya
Atau masih banyakkah pemungut sampah disekeliling rumah warga
Yang sulit hidupnya
Yang kurus badannya
Yang murung mukannya
Yang sebentar lagi
Tinggal dikubur dan dilupakan sejarah
Adek-adek mahasiswa
Jangan pandang aku sebagai tukang buah
Karena sesungguhnya manusia itu sama rata
Bukan saja labelnya atau profesianya
Tapi pandanglah manusianya
Dibalik labelisasi zaman konotasi globalisasi
Adek-adek mahasiswa yang masih muda
Ingin menambah masalah kami, rakyat jelata
Ingin menambah kekecewaan kami, rakyat jelata
Atau membantu kami agar nyaman dengan penderitaan siksa
Atau membiarkan kami, agar lekas mati dengan kecewa
Kami rakyat jelata yang menjelma tukang buah
Tak menuntut apa-apa dari adek-adek mahasiswa
Tapi kami mohon jangan menambah penderitaan kami
Jangan menambah permasalahan kami
Jangan menambah keterpakasaan kami untuk memaklumi
Jangan menambah penyesalan kami atas semua yang bukan kami
Dengan tenang
Rakyat jelata yang menjelma tukang buah
Pergi meninggakan adek-adek mahasiswa
Dengan menampik kekesalan zaman
Sambil melirik wajah mikir
Jangan sampai besok ada petir
Nofianto puji imawan
Madura, 31 mei 2014.