Melabeli dirinya sebagai seniman. mengatasnamakan profesionalitas. Menuntut penghormatan diri. Agar dirinya tak dilobi-lobi, dalam menawarkan harga tinggi untuk menjual diri. Sedangkan beberapa lainya sedang memikirkan gaji mereka untuk bisa makan dan hidup esok hari. Namun ada hal yang dilupakan diantara dinamika semesta yang isinya bukan saja mereka sendiri. Namun terdiri dari berbagai manusia yang sama, tetapi berbeda merk dan labelnya. Ada yang berlabel halal, ada juga yang haram. Seniman yang artinya orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan atau menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dsb) menurut KBBI. Sekarang sedang berada dalam sebuah lingkaran tuntutan antara makan, eksistensi, ketulusan, perjuangan, atau hura-hura. Dalam menghadapi kehidupan yang sedang mesra bercumbu dengan anomali pembodohan struktural. Sehingga tak cukup ruang dan waktu, untuk memikirkan orang banyak. Sedangkan memenuhi kebutuhan sendiri lebih diutamakan. Dibandingkan mengemban amanah sebagai seniman. yang menurutku tugasnya adalah memperbaiki, menjaga, mengawal, mengawasi, mendo’akan, menghibur, memperjuangkan, atau melakukan banyak demi terciptanya tatanan hidup yang baik. Sampai terbentuknya manusia-manusia yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kebaikan yang semakin meningkatkan kualitas setiap manusia digenerasi selanjutnya. Dan menghormati manusia digenerasi selanjutnya.
Tetapi apa yang aku lihat. Memang selalu menipu. Seniman sudah seperti pengusaha atau penjual tahu sumedang diterminal. Mereka selalu mengusahakan semuanya dengan maksud baik tapi selalu berharap agar dihormati, diapresiasi, disanjung-sanjung, dipuji-puji, dipelakukan baik, diundang sana-sini, atau bahkan pemrih dalam melakukan kegiatan keseniannya. Seperti yang aku lihat dalam sebuah acar lomba pekan seni nasional. Banyak juri yang terdiri dari bermacam-macam manusia. Menamakan diri mereka sebagai seniman yang profesional dan berkredibilitas tinggi. Sedang mengusahakan terciptanya ladang basah dan mendapat laba, sebesar-besarnya. Kesenian dibuat seperti pekerjaan yang butuh gaji bulanan. Bukan malah memandang dari sudut kemanusiaan. Realita sudah mengalahkan segala kemanusiaan. Tidak kutemukan sebuah keseimbangan, antara tuntutan dan kewajiban. Sehingga manusia yang menyebut dirinya seniman disini selalu menuntut, tapi tak disiplin sebagai apa yang mereka labelkan dari diri mereka. Yaitu, seniman.
Seniman atau senengane nowo iman. Artinya, sukanya nawar iman (kepercayaan). Sehingga selalu mencari-cari sebuah kepercayaan mengenai dirinya sendiri. Tetapi saat belum bisa percayaan dengan dirinya sendiri. Bahwa sebenarnya dirinya mengemban amanah yang sungguh-sungguh amat besar dibandingkan lurah, camat, bupati, walikota, gubenur, mentri, atau presiden. Dalam menjalankan amanah besar itu. apalagi bertanggung jawab mengenai nasib manusia digenerasi yang akan datang, supaya lebih baik. Maka kesungguhan seorang yang berani melabeli dirinya sebagai seniman. bersiap-siaplah untuk bertanggung jawab mengenai hal yang belum pernah disadari. Bahwa seniman mempunyai amanah akan keberlangsungan nasib generasi yang lebih baik. Tetapi apa yang terjadi didepan mataku ini. seniman-seniman ini, sepertinya tidak tulus. Hanya berharap supaya dibayar. Atas jasa dan kedatangannya. Bukan malah melakukan usaha-usaha sebagai seniman untuk membuat kemarau menjadi musim semi. Demi menebarkan pesona bagi penduduk disekitarnya, agar bisa merebut hati mayoritas penduduknya. Dan melanjutkan maksud demi melancarkan kepentingannya.
Aku gusar dengan pengakuan dan penyebutan seniman kepada manusia-manusia yang belum siap mengemban amanah mulia seperti itu. Kalau bisa segeralah menghapus sebutan seniman menjadi jaranan. Yang harus dibayar dengan uang jika ingin melihatnya dalam sebuah tanggapan. Atau seniman diganti dengan sebutan sen saja. Soalnya imannya masih belum bisa mewujudkan keseharusan dalam berkehidupan.