Sabtu, 21 Juni 2014

Seandainya & Seharusnya

Seandainya”, adalah kata yang tepat untuk mengawali segala yang dianggap mimpi. Begitupula “seharusnya”, adalah kata yang tepat untuk mengawali sesuatu yang sudah taksesuai porsinya, taksesuai keseharusannya, taksesuai semestinya, taksesuai kewajibannya, dan taksesuai janji-janji yang telah disepakati dalam sebuah perjanjian secara tidak langsung maupun langsung. Bukan maksud berlebihan dalam sebuah pemaknaan atau bermetaforaria. Namun bagaimana membuat agar “batu bisa dipandang sebagai berlian” dimata manusia-manusia. Membuat “baik dan tidak sebagai sebuah ukuran yang masing-masing pantas untuk dipelajari dan diakui”. Bukan malah mengesampingkan pihak satunya, demi mengutamakan yang dianggap lebih, oleh mayoritas. Entah ini tirani atau fasisme. Yang pasti ini bukan sebuah keluhan atas ketidaknyamanan segelintir orang yang tau dan mau tau atas realita. Sedangkan yang seperti itu bukannya sudah terlalu banyak dan berkembangbiak. Yang mau tahu, dan tau. Tapi yang mau memahami dan bertindak lebih untuk membuat sebuah keselanjutan dalam tindakan. Sebagaimana keinginan atas tuntutan kelebihbaikan peradaban dalam gengsi ketulusan sikap dan ucapan kekinian. Adalah wujud yang didambakan untuk melengkapi, cuilan-cuilan batang pohon randu yang digerus sarinya oleh benalu taktaumalu.

Ramuan ajaib apa yang bisa membuat mimpi menjadi kenyataan, membuat keinginan menjadi berwujud dan bisa dirasakan, membuat bualan-bualan kebohongan menjadi bentuk pasti suasana adem-ayem. Atau membuat ocehan-ocehan ludruk kritikan menjadi pembakar semangat paling dominan dan berperan. Sehingga manusia-manusia tak hanya bisa bicara, bermimpi, berangan, berharap, berencana, berandai-andai, berceloteh, berdusta, dan bersandiwara atau berucap tapi kelakuannya berbeda.

Sepertinya hal ini membuat aku teringat tentang sebuah kejadian. Sebuah fenomena antara dosen dan mahasiswa. Dimana dosen tersebut bisa dikatakan dosen baru yang masih merasa optimis dengan perubahan generasi menuju arah yang lebih baik. Optimisme dosen baru yang semakin kalangkabut hingga membakar lahan gambut. Telah membuat sebuah gebrakan mengenai cara mengajar dan gaya mengajar mereka terhadap mahasiswa. Sedangkan mahasiswa yang sudah terbiasa dan berusaha untuk semakin membiasakan diri dengan ketidak-konsistenan dosen, ketidak-seriusan dosen, ketidak-baikan sistem, ketidak-bersahabatan lingkungan, ketidak-adanya tanda-tanda bahwa fenomena siklus metamorfosa permasalahan dosen dan mahasiswa ini akan berhenti. Dan membuat sebuah kebudayaan pendidikan antara dosen dan mahasiswa menjadi seperti apa yang namanya pendidikan yang didalamnya syarat nilai-nilai yang sulit untuk dijabarkan tampa ruh yang serius dan benar.

Dosen baru ini berupaya untuk bagaimana caranya. Agar mahasiswa harusnya dididik dengan gaya yang lebih disiplin dan disibukkan dengan jadwal atau intensitas tugas yang padat. Sehingga tekanan terhadap mahasiswa dapat membuatnya sadar dan lebih keras belajar. Dan nilai lebihnya adalah, agar mahasiswa dapat bersaing lebih ketat dengan realitas yang sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan harapan dan banyangannya. Realitas itu memang keras dan mungkin tak pernah kompromi dengan apapun. Sehingga siapa yang tak kuat maka tinggal mayat. Namun hal ini sudah biasa untuk sebuah gebarakan cara mendidik seorang dosen baru yang selalu ada setiap beberapa tahun sekali. Sehingga bisa ditebak bahwa dosen baru ini akan sama seperti apa yang telah terjadi, sebelum-sebelumnya. Mungkin karena pengalaman mengalahkan segala kemungkinan-kemungkinan yang mendekati sekalipun.

Namun mahasiswa ini menjadi sangat binal. Dikarenakan ketidak terimaan dengan penghapusan kenyamanan dari cara belajar yang sungguh-sungguh santai. Semenjak didatang dosen baru tersebut. Mahasiswa menjadi terusik kenyamanannya. Dikarenakan tugas sangatlah padat. Dan itu membuat banyak mahasiswa naik pitam. Lingkungan yang membuat perlunya penyesuaian-penyesuaian untuk adaptasi lingkungan dan kebiasaan baru dalam melakukan pembiasaan. Mahasiswa menjadi tak karuan. Pikirannya pusing tujuh keliling, lantas keinginan untuk melawan hanya sebatas impian. Dikarenakan turunya kualitas generasi yang semakin berkurang. Menjadikan manusia-manusianya menjadi tumpul dan tak karuan. Seperti kalangkabutan dan cukup membuat penyesalan. Atas waktu yang dihabiskan karena pembiasaan-pembiasaan untuk mengeluh dan menggerutu. Untuk membalaskan kelemahan dalam sulitnya menyesuaikan dalam iklim baru yang kadang dan bersahabat.

Biarkan saja dosen baru itu. tapi jangan jadikan mahasiswa itu sebagai bahan percobaan atas minimnya pengalaman dari sebuah regenerasi zaman yang sedikit edan. Namun yang perlu ditelaah adalah, cara mengadaptasikan diri terhadap iklim yang sulit untuk diri sendiri. Agar kita selalu siap sebagai apapun dan dimanapun. Dan itu akan meminimalisir sebuah kemungkinan-kemungkinan tetang keseriusan yang seharusnya diutamakan setelah ketulusan.

Buatlah rasa supaya bisa merasa, sedangkan biarkan keseharusan begini adanya. Namun untuk apapun yang sulit diterima. Maka biarkan untuk bisa diterima, kapanpun itu. sediakan  jalan agar yang lain dapat melewatinya. Untuk mencapai tujuan masing-masing. Tampa menyuruh agar bisa mencapai tujuan bersama.