Selasa, 14 Juli 2015

Pemiliknya Menuntut, Ayam Menurut

Aku pernah lihat, bagaimana pesan Non-Verbal yang ditunjukan oleh ayam-aduan milik tetanggaku. Sekitar 10 meter dari rumahku, bertempat dikebun belakang. Dengan banyak bambu-bambu menjulang keatas, dan baunya menyengat. Karena bersebelahan dengan tempat sampah tradisional yang diciptakan warga dusun ini. tempatnya luas, pekarangan milik siapa entah tak jelas. Tapi yang pasti, disinilah ayam-ayam ini akan membuktikan. Siapa sebenarnya dirinya. Dan tempat ini adalah hakim atas hidup-mati tampa perhitungan. Sehingga aku tau, ayam-ayam yang sudah pernah menampakan diri ditempat ini. Maka ayam tersebut sudah punya keberanian dan persiapan. Untuk bisa bertahan digurun berlahar transparan ini. 

Baik yang pernah mati disini, atau yang menang dengan bayaran jatah hidup lebih lama. Dan pasti akan dipercepat matinya oleh pemiliknya, dengan nafsu menandingkannya kembali. Pembuktian bahwa kemenangan ayam, akan meningkatkan elektabilitasnya. Gengsinyapun terangkat. Harganyapun semakin takbisa ditawar-tawar. Namun sekali lagi, kukatakan. Ayam kalau sudah pernah menang akan ditandingkan kembali. Untuk menuruti nafsu ketidakpuasan pemiliknya. Namun ayam selalu taat dengan pemiliknya. Untung saja ayam masih termasuk hewan tak berakal. Tapi setidaknya ayam lebih konsisten dibandingkan pemiliknya. Tapi pemiliknya takpernah mengambil hikmah dari ayamnya. Yang ada pemiliknya selalu menuntut sampai ayam itu cemberut walau paginya sering dimandikan dan dimanja dengan obat-obatan khusus. Tapi bagaimanapun ayam akan selalu menurut dan pemiliknya akan tetap menuntut.

Hal ini sama dengan apa yang dirasakan banyak orang pada musim pemilu 2014. Bagaimana pemerintah selalu menuntut rakyat, dan rakyat selalu menurut. Sedangkan waktu takhenti-hentinya memperingatkan keterbatasannya. Pemenrintah sepertinya sudah mewarisi watak dan nurani seorang pemilik ayam. Namun rakyat semakin meng’ayamkan diri. Sebaiknya bagaimana jika ayam diajari akalbudi. Supaya ayam bisa pergi dan membagun keluarga tampa keikutsertaan pemiliknya. Namun itu takmudah. Semua sistem sudah seperti ikatan transparan yang sungguh kuat. Pemerintah telah menjadi bagian dari sebuah kesepakatan sistem kenegaraan. Sedangkan rakyat diibaratkan mayoritas yang dipinjam namanya untuk kepentingan-kepentingan atas nama rakyat. Sedangkan pada kenyataannya rakyat harus bertahan hidup dengan mandiri. Walaupun harus dihadapkan dengan kenyataan pertaruhan hidup-mati yang menentukan nasibnya sendiri. Apapun yang terjadi ayam bertanggung jawab sendiri atas kelangsungan hidupnya saat sudah dilepas ditempat aduan ayam. Walaupun pemiliknya meneriakinya diluar batas tempat aduan ayam. Sedangkan bagaimanapun pemiliknya sebenarnya hanya menginginkan kemenangan dan tuntutan harapan nafsunya saja. Bukan semurni-murninya rasa sayang terhadap peliharaannya. Sebatas itu. kalaupun ayam itu kalah dan mati. Maka pemilik bisa memilih antara menyesal dan berhenti mengadu ayam, atau membeli lagi dan merawatnya agar bisa diadu lagi dan begitu seterusnya.

Perbandingannya terlalu besar. Bagaimana rakyat dibuat penentu seperti barang taruhan. Sedangkan pemerintah semakin superior dengan kekuasaan yang dianggap menentukan. Ingat, setiap pihak baik rakyat maupun pemerintah itu hanyalah semu. Pemerintah perlu kehadiran rakyat, karena itu sistem kesepakatan sejak munculnya keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan rakyat menganggap dirinya hanya sebuah sebutan. Ada atau tidakadanya pemerintah, itu sebenarnya bukan urusan. Yang terpenting bagi mereka adalah makan dan sembahyang. Alias melanjutkan dan menjalankan kehidupan yang memang menjadi kewajiban setiap kelahiran. Jika sudah diberi sebuah kehidupan. Maka resikonya adalah kematian. Jika amanah dititipkan maka resikonya adalah pertanggung jawaban. Jika janji atau ikrar sudah diucapkan maka penepatannya haruslah dijalankan. Bukan pengingkaran atau pembohongan yang malah ditunjukan. Namun keseriusan dalam menjalankan dan menghasilkan apapun sesuai harapan. Ketulusan menjadi modal, kepercayaan adalah pedoman, kebijaksanaan adalah hasil, kearifan adalah sikap, kejujuran adalah keseharusan, konsistensi adalah perjanjian, dan keselarasan atas segala keseimbangan menjadi sebuah jalan dimana akan ditemukan kelebihbaikan. Kondisi saat ini memang kurang bersahabat. Dimana-mana sudah kehilangan beberapa nilai-nilai keutamaan. Apapun diputarbalikan, dibelokan, diplesetkan, dibodohkan, dihabiskan, dan dihancurkan.

*****

Aku tau ayam akan selalu jadi ayam
 Tapi pemiliknya bisa menjadi serigala bahkan domba ataupun singa
Tapi tak lelahkah berpura-pura
Ayam juga punya ingatan yang lebih dari perkiraan pemiliknya

Nofianto Puji Imawan
Madura, 23 Juni 2014.