Senin, 13 Januari 2014

Kabar Gadis itu

Dengan lesung pipit yang cukup membuat bibirku berucap, “manis”. Hingga kekhas’an bagai bidadari dimana sehelai selendangnya dicuri jaka tarub itu, sungguh meracun hingga tak banyak yang kupikirkan selain memandangnya kembali.  

Ini mungkin adalah sebuah pesan yang disampaikan angin kepada awan agar lekas hujan. 

Siang di sebuah kantin dengan gaya lama dan beraroma keringat anak kuliahan yang sedang bersantai dan melepas penat dari dunia pendidikan yang semakin tahun semakin menurun kualitasnya. Aku bersama orang yang takkukenal berbicara dalam bahasa yang tak aku mengerti. Suasana diam dengan kebiasaanku mengotori selembar kertas dengan tinta semakin menambah kejenuhan jadi semakin jenuh, di hadapan keramaian. Suasana menjadi lenyap tak terarah, banyak daun yang jatuh waktu itu. banyak pula yang berbicara entah sampai dimana. 

Namun setelah kutolehkan leherku kekiri, ada seklebatan dan tak asing bagiku. Mungkin juga membuat banyak orang di sekitarku menjadi menoleh tampa mau berbagi. 

Ia dengan tudung abu-abu dan membawa ransel di bonceng seorang laki-laki gemuk menaiki honda-beat. Matanya yang tertutupi oleh tebal kacamata merah tua, berpakaian serba hitam berpasangan dengan celana jeans. 

Benar bukan, ujarku dalam hati “Gadis manis berlesung pipit penuh bualan”, jika selalu difikirkan semakin menggoda anganku untuk selalu mendambakanya. 

Sapaan keras memanggilnya dari arah samping tempat dudukku “Maulina”. Maka menolehlah gadis manis yang lahir pada maulid nabi dalam penanggalan islam, itu menoleh dengan gayanya yang semakin membuat mataku tak lelah memandangnya. Tak lelahpula melihatnya. 

Semakin terlena aku melihatnya lewat dan menoleh tadi. Sampai membuat hati menegang.  Sadar setelah tampa sengaja tangan kasar temanku menepuk pundakku dan berujar, “aku balik dulu ya”. Sehingga menyadarkanku dari banyangan “Gadis manis berlesung pipit” itu. Kujawab dengan berat hati “iya”, sampai satu-persatu teman-temanku dari mulai yang aku kenal dan tidak, pergi dan pulang bagai kunang-kunang. Bersamaan dengan hilangnya bayanganya.

30 menit sudah ia lewat dan membuatku tercenggang. Sepi sudah sekitarku. Lupa akan tugas yang sudah menungguku, dengan kondisiku yang pagi tadi belum sarapan. Aku putuskan untuk menuju warung, hingga lupa akan tugas yang belum aku kerjakan hari ini. Jika kurasakan sekali lagi pikiranku menjadi kacau. Sudah seperti ingin lepas dari sangkar, kalau aku ini kutilang. Namun aku ini manusia yang belum bisa menjadi apa diantara apa-apa di dunia. Ini benar-benar serius, dalam hati. Aku ingin bersama dan berdua sambil berbicara tampa kiasan dihadapanya. Dengan mendadak hatiku berdebar menggumamkan hal itu.