Kamis, 16 Mei 2013

Perbandingan Sebuah Angan


“Menjadi bagian dari perjalanan keseimbangan adalah hal yang paling sulit untuk di lakukan”

Jangan sampai ditinggalkan pembaca, tapi tetap idealisme dan independent. Itulah yang seharusnya dilakukan pers mahasiswa kekinian. Sebagai media alternatif mahasiswa yang independent, walaupun kenyataanya sekarang banyak yang di slimuti oleh kepentingan golongan pergerakan mahasiswa.

Pers mahasiswa kelak akan menjadi minoritas diantara mayoritas golongan gerakan mahasiswa yang mengatas namakan kebenaran bukan atas dasar kebenaran tapi atas dasar kebenaran golongannya sendiri-sendiri.

Menang massa atau anggota itulah salah satu keuntungan pergerakan mahasiswa sekarang ini, berbeda dengan pers mahasiswa yang berjuang demi independentsi demi menjaga kode etik pers mahasiswa sehingga dapat membuat sebuah ke objektifan, walaupun tak ada keobjektifan yang sebanarnya. Dibalik lika-liku perjalanan pers mahasiswa selalu ada yang namanya interfensi dan pergulatan batin selain kita harus mati-matian dalam mempertahankan independentsi dan tegas dengan memakai nurani dalam ber-pers mahasiswa.

Kampus sekarang sudah berbeda dengan dulu, dimana dulu berlakunya normalisasi keadaan kampus atau NKK/BKK. Yang sekarang ini sudah tidak berlaku dalam era kebebasan informasi dan berbicara, sehingga banyak organisasi di dalam kampus atau organisasi diluar kampus yang berjuang atas nama keadilan dan kesejahtraan menjadi semakin banyak. Sehingga munculah sang bholshewik yang barus atau kaum mayoritas yang mempunyai massa banyak dan akan menekan kaum minoritas bahkan memicu konflik terhadap kaum minoritas.

Permusuhan antar organisasi dan persekongkolan yang terjadi membuat tujuan baik organisasi menjadi ternodai, yang seharusnya berjuang bersama-sama malah menjadi perebutan kekuasaan dalam suatu wilayah kampus terutama. Sama seperti pers mahasiswa yang bertujuan sebagai pengawal kebijakan kampus dan lain-lainya. Malah sekarang sedikit membe’o dari tujuan awal pers mahasiswa.

Pers mahasiswa yang mengaung-gaungkan kebaikan bersama, telah menodai dengan tinta nya sendiri. Kebencianku ke pers mahasiswa kekini-kinian adalah sekarang telah mencapai puncak dan ku sebut ini sebagai “Matinya Nurani Pers Mahasiswa”, walaupun sekarang ini aku menjadi pers mahasiswa. Perjuangan pers mahasiswa hanya sebagai kedok atas kebrobokannya sendiri, menulis hanya dilakukan sebagai tugas bukan atas nuraninya sendiri, mencari berita hanya dilakukan sebagai ajang eksistensi bukan atas kesadaran pribadi, penyadaran demi penyadara bukan lagi atas ketulusan tapi untuk pamer saja, tuding-tudingan antar oraganisasi hingga menyalahkan organisasi dan menganggap bahwa Lembaga Pers Mahasiswa itu paling baik, dan yang lainya tidak baik. Sampai berujung pada “sombongisme” atau “narsisme organ”, idealisme yang di belok’kan membentuk sebuah pikiran yang radikal, bahkan sebenarnya ideologi Marxisme itu tak radikal tapi yang membuatnya dianggap begitu adalah orang-orangnya. Jadi idealisme pers mahasiswa di buat untuk memuaskan nafsu pribadinya saja bukan untuk kebaikan bersama.

Kebangga’an menjadi pers mahasiswa menjadi penyakit terbaru yang menjangkiti banyak pers mahasiswa di indonesia menjadi sebuah jarus yang menusuk dirinya sendiri. Kesadaran akan kebaikan bersama berkurang, malah menjadi seperti mencari keuntungan atas kepentingan pribadinya sendiri, maka jangan salahkan yang lainya, dan ku nilai sendiri menurut perbandingan lembaga pers mahasiswa dengan organisasi lainya, saya kira maka tak banyak bedanya. Bahkan pers mahasiswa kekini-kinian lebih buruk dari pada organisasi lainya.

Tapi itu semua hanyalah keyakinan semu yang kutulis untuk menyadarkan aku terutama supaya tak cepat terlena dengan keadaanku sekarang. Konsisten dan sepenuh hati dalam ber-pers mahasiswa memang butuh pengrbanan lebih, dan ku anggap ber pers mahasiswa berbeda dengan yang lainya. Jalinan yang kuat menjadi kesenangan yang kurasakan saat ini, walapun banyak yang harus dilakukan, ini merupakan sebuah awal yang baik dan tak ada akhir. Walapun efesiensi berpers mahasiswa di kampus sering turun naik dan media-media kampus sekarang mulai bermunculan sehingga media yang di produksi leh pers mahasiswa menjadi berkurang peminat, media kampus yang Cuma memberitakan yang baik-baik tentang kampus adalah sebuah hak jijik dari pihak kampus, demi mengalahkan eksistensi pers mahasiswa, media bulettin kampus dan pihak humas yang memusuhi kami menjadikan sebuah tanda tanya besar dan cobaan yang aku alami.

Tapi bagaimanapun dalam ber-pers mahasiswa, ini adalah sebuah gambaran bagus dimana menunggu waktu yang tepat akan melakukan hal yang lain, ingin kembali ke paradigma klasik pers mahasiswa yang sempat tertutup kabut jembatan suramadu.