Kamis, 16 Mei 2013

Cukup Lah Hanya Ini


Menunjukan sebuah kepuasan dengan raut wajah yang sumringah hingga akhir acara. Ialah wujud kepuasan akan “misi yang tercapai”, hingga lupa akan kehidupan nyata dalam sebuah gagasan pelarian yang di hadapkan pada banyak manusia.

Seperti buruh yang meneriakan hak-haknya di bundaran Hotel Indonesia di Jakarta. Mengancam dengan muka setan, menangis dengan air mata berduri, membawa bendera dengan warna yang berbeda, menaruh papan-papan berhiaskan kecaman-kecaman penuh dengan ketegangan, mengubah haluan-haluan bersama truk-truk besar berisikan dendam kepada yang berhak, bertujuan baik tak tulus.

Saat terpilih menjadi orang terbebani, ia sempat meneriakan visi dan misi hingga banyak keraguan meng’hingga dan lenyap dalam keraguan pasti. Menghujam bagaikan Aburizal Bakrie menjunjung demokrasi di hadapan para manusia pembisu, menerima banyak keuntuangan dan membagi kesusahan. Maka tak membuatku kaget dan bakalan takut melihat lalu merasakan sebuah gambaran tentang kemanusiaan yang semakin turun kualitas manusia-manusianya.

“Menari-nari besama banyak kejadian di sekitaran jalan yang aku lewati saat ini, tak sebanyak hal yang aku lihat di depan & di belakang, sampai yang tak tembus di tatap. Maka itu adalah kebohongan dan ke pura-puraan”.

Menjalani seperti biasa, tapi selama hari sering bersambung maka apa yang aku rasakan tak akan abadi dan taksama “bisa lebih baik, bahkan lebih buruk”. Cuma ada dua, dan tak ada hari lalu tak akan bisa sama, tapi itu kalau kita peka akan keadaan sosial. Mengerti banyak hal kadan juga membuat beban, kesadaran akan tindakan yang akan kita ambil, tapi ada faktor lain untuk tidak melakukan hal atas kesadaran. Sumpah dalam hati menjadi kompromi kenyataan pribadi, sumrigah dalam beberapa hal yang bisa dilakukan menjadi hiburan atas bunga-bunga yang layu.

Jalanan menjadi suram, disaat aku berjalan melawan banyak pengendara motor yang menuju ruang kuliah masing-masing, mata menjadi biru agar tidak telat. Tapi malah disana dosen main dengan waktu, bahkan sampai menbuyarkan mata. Tak masuk menganti waktu kuliah se’enaknya, menyampaikan dengan busuk ”sms” atau disuruh menjemput suara besar di kantor rektorat yang basi dan besar sekali, tapi berpondasi kokoh, menurut mas lutfi “aktivis kiri yang berani, namun termakan realita. Mengapa, bagaimana penyuaraahan suram telah melanda. Bangun dengan marah dalam sms yang kuran ajar, tak bernada sehingga salah membaca. Demo berteriak dengan nama rakyat di pagi buta, disambut sang haji penuh nama panjang (tittle), menjaga citra kampus pinggiran, mengumpamakan sebuah jalanan menjadi lapangan membara bersama banyak mulut-mulut berang mengerang menanyakan keamanan.

Aku miris melihat kemunafikan mahasiswa lain, membungkam mencari aman. Begitu pula dengan pendemo yang berteriak tapi tak bertindak. Sama dengan perbandingan yang diam sampai mengerucutkan kegagalan abadi dari setan-setan yang masuk dalam semua struktur kampus, pembasmi hama tak berani masuk. Pendukung setia semakin tak mempam, penggakuan demi pengakuan menjadi pemicu akan sebuah harapan panjang akan kesetaraan dan persembunyian muka, biar tak dianggap memihak.

Sibuk harus, diam musti, bertindak wajib, mengerti adalah tuntutan. Kalau mengerti dan tau tindakan apa yang harus diambil, tapi tak melakukanya. Itu adalah kaum intelek tual yang bodoh dan hurus bisa menjadi sebuah pemikiran konyol bagi orang seperti itu. Busuk dapat di cium, dan dicari. Tapi lebih baik apa kalau kita mengambil tindakan.

Biacara dengan pemikir yang berbeda arah tujuan pun berbeda, sama dengan sebuah gambaran merah dalam bangsa yunani. Mengabdikan pada perang dan jedral, mengerti resiko dan berangkat. Begitulah, sehingga kisah three employes menjadi besar dan lebih dari yang kita banyangkan. Sejarah mungkin bisa menjadi sebuah kebohongan yang disepakati, tapi apalah arti yang lebih baik dari sebuah gunjingan pembangun jiwa.