Sebenarnya aku tak yakin dengan perintah ia, yang menyuruhku diam tapi melaju dengan baik sesampainya aku diam dibelakang rumah dengan sampan yang terus ku rengkuh dengan sendiri aku tertidur tampa lepas akan pandanyanya yang selalu perhatian kepadaku, dengan orang diam penuh dengan perasaan rapuh dan mereka ku inginkan tampa mengenal waktu di saat itu. Aku menjadi kadang melemah akan kondisi seperti itu, tak ada greget panas semasa disana (Madura) yang semakin memanas semangat dan kemampuan seorang muda, penuh kesan mistis yang indah hingga sempat tak mau lepas dari rumah tercinta yang lama aku tinggalkan sampai ia dan orang diam (orang tua ku) memanggil aku sampai diam melanda.
Semakin merasa selesai aku menjalani pas di sana sebaris hari, segores ilmu yang masuk menjadi sebuah hasrat untuk balik dengan semangat dan mencari sendiri akan sebuah kesendirian hidup penuh palsu ini, sampai aku menemui setitik beku yang memaksa, aku tak mau mereka mengharap ku selalu tak aku berharap mengharap terkadang, kusibukan diriku dengan buku eyang malam menjumpaku di malam itu, berharap sampai puas membacanya hingga menemui sebuah pikiran ujung tak sampai pada dasar malam-malam, melihat kebiasaan menerawan bungga malam si pemberi karunia dan berdo’a selepas itu sesampainya di ujung ufuk pagi aku masih mengambi kunci tampa sadar melarikan sebuah koran pagi dan membaca sembari menikmati kerakusan pendidikan dengan memakai uang titipan orang diam tersebut.
Dari pagi hingga sore aku mencoba menyibukan diri dengan atau tampa membuat orang tua menjadi binggung dengan aku berada di rumah suda sang maha raja tersebut, aku pun lari dari candi kecandi dan hingga dari pendopo ke museum sampai berahir pada rumah warung teman yang sampai terbenam aku, aku kegagapan menyertai banyak sekali bukit-bukit mojapahit yang selalu menyiram bunga-bunga purba sang maha raja raden wijaya, aku dan sore berserta kuda mesin ini berkehendak untuk pulang dan meramaikan suasana rumah yang sepi dan sunyi atas kesalahanku yang esoknya di madura aku perdebatkan dengan temanku dimana aku menjadi sadar akan suatu yang pernah ku fikirkan dan itu jelek menjalar akan sebuah puing-puing kesan yang menusuk hingga keparang setan penuh dengan belerang berbau menyengat, serba gagal dan pilu menerima kilas balik itu dan sempat menedang perasaan, layaknya pada malamnya sebelum itu ter jadi aku merasa malu dan malu atas beberapa hal ini, ibu bapak adik yang kukasihi merasa kasian aku, tapi disisi lain aku tak mau melemah gara-gara ini, aku tak mau terjebak dengan banyak sekali hal-hal semacam ini menusuk ku hingga sampainya aku kedalam jurang kasih sayang yang terkadang bisa menjadi racun buat ku untuk berlatih.
Aku melatih diri, untuk sendiri, aku berusaha dalam semua ini tak lain untuk hal yang aku sendiri tak tau seperti apa yang akan melanda diriku di esok, lemah, santai, lemah, senang, sayang cinta, adalah virus terkadang, disaat ini aku harus belajar dan menerapkan apa yang aku pelajari dengan serius tapi bukan berati aku kaku, ini adalah konsistensi yang perlu dilatih dan di kembangkan dengan serius sehingga tak ada celah. Tapi selalu kita ada suatu pertentangan batin yang kadang tak bisa lepas dan terlepaskan dari hubungan horizontal dan vertikal manusia.