Selasa, 14 Juli 2015

Humanisme Dan Kebebasan Pers Kompas Gramedia Grub Memperingati 70 Tahun Jakob Oetama

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSvwd277xKgQpfVuN2f38kBFrGu8z9iEPwvOpLIcxcYxdGP2pmbGOKHHaivkBlrxkooj7HBpGXj9RM3wkYyFAgexm5syIKnFYJZHBc8c3o3aZExNK2ypJjstFSOQRizC0AqgOe0qjFneA/s200/Humanisme+dan+Kebebasan+Pers.jpg

Suatu hal yang paling menonjol semenjak reformasi digulirkan adalah begitu besarnya luapan ekspresi kebebasan masyarakat di semua bidang. Bila sebelumnya kuasa negara begitu menggurita, maka sejak tumbangnya rezim Orde Baru tak ada lagi tangan-tangan rezim yang mencengkeram dan mengawasi partisipasi politik masyarakat. Media massa adalah kelompok yang secara nyata merasakan situasi ini. Lahirlah puluhan—atau bahkan ratusan—media massa baru, dari tabloid yang berisi berita-berita sensual atau sensasional hingga media yang diterbitkan partai politik tertentu. Akan tetapi, belakangan muncul kritik bahwa pers saat ini cenderung kebablasan dalam menikmati kebebasannya itu.

Sikap protes atau tidak terima terhadap beberapa pemberitaan pers muncul di mana-mana. Demikian pula terbit beberapa buku yang mencoba mencermati fenomena tersebut, seperti buku yang disunting oleh Dedy N. Hidayat, dkk berjudul Pers dalam Revolusi Mei (Gramedia, 2000), atau Politik Media dan Pertarungan Wacana karya Agus Sudibyo (LKiS, 2001). Kedua buku tersebut melihat pergeseran dunia pers mulai dari proses jatuhnya Presiden Soeharto hingga proses reformasi.

Buku ini adalah semacam refleksi atas perjalanan sebuah media massa, yakni Harian Kompas—koran terbesar di Indonesia—selama menapak perjalanannya di antara berbagai rentang masa: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Momentum yang melatarbelakangi terbitnya buku ini adalah peringatan ulang tahun ke-70 Bapak Jakob Oetama yang menjadi Pemimpin Umum Kompas semenjak tahun 1970. Seperti disebutkan oleh editor buku ini, St. Sularto, buku ini merangkum tiga pokok persoalan bahasan: humanisme transendental, kebebasan pers, dan Harian Kompas.Suatu hal yang paling menonjol semenjak reformasi digulirkan adalah begitu besarnya luapan ekspresi kebebasan masyarakat di semua bidang. Bila sebelumnya kuasa negara begitu menggurita, maka sejak tumbangnya rezim Orde Baru tak ada lagi tangan-tangan rezim yang mencengkeram dan mengawasi partisipasi politik masyarakat. Media massa adalah kelompok yang secara nyata merasakan situasi ini. Lahirlah puluhan—atau bahkan ratusan—media massa baru, dari tabloid yang berisi berita-berita sensual atau sensasional hingga media yang diterbitkan partai politik tertentu. Akan tetapi, belakangan muncul kritik bahwa pers saat ini cenderung kebablasan dalam menikmati kebebasannya itu.

Sikap protes atau tidak terima terhadap beberapa pemberitaan pers muncul di mana-mana. Demikian pula terbit beberapa buku yang mencoba mencermati fenomena tersebut, seperti buku yang disunting oleh Dedy N. Hidayat, dkk berjudul Pers dalam Revolusi Mei (Gramedia, 2000), atau Politik Media dan Pertarungan Wacana karya Agus Sudibyo (LKiS, 2001). Kedua buku tersebut melihat pergeseran dunia pers mulai dari proses jatuhnya Presiden Soeharto hingga proses reformasi.

Buku ini adalah semacam refleksi atas perjalanan sebuah media massa, yakni Harian Kompas—koran terbesar di Indonesia—selama menapak perjalanannya di antara berbagai rentang masa: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Momentum yang melatarbelakangi terbitnya buku ini adalah peringatan ulang tahun ke-70 Bapak Jakob Oetama yang menjadi Pemimpin Umum Kompas semenjak tahun 1970. Seperti disebutkan oleh editor buku ini, St. Sularto, buku ini merangkum tiga pokok persoalan bahasan: humanisme transendental, kebebasan pers, dan Harian Kompas.