Senin, 02 Januari 2017

Menelaah Tahun Baru Dengan Jujur

Tak semua setuju merayakan tahun baru, tapi tak semua merasa perlu bahwa tahun baru itu harus dirayakan. Kalau versi anti-mainstream, tahun baru itu harus direnungkan. Sedangkan versi mainstreamnya, tahun baru itu wajib dirayakan. Lantas sintesis dari anti-mainstream dan mainstream merasa bahwa tahun baru itu perlu dirayakan dengan perenungan dan instropeksi serta resolusi perubahan diri untuk lebih baik dari sebelumnya. Pernyataan seperti itu terkadang sering kita dengarkan dari orang-orang sekitar kita, entah di rumah, warung kopi, cafe, kantor, sekolah, kampus, dan lain sebagainya. Bagaimana pendapatmu tentang perayaan malam pergantian tahun? atau yang biasa kita sebut sebagai tahun baru. Tapi kali ini saya tidak akan membahas mengenai perdebatan tentang apa perlunya merayakan tahun baru dan apa pentingnya harus dirayakan. Lantas, saya akan membahas mengenai bagaimana malam tahun baru yang pernah saya alami.

Saya pernah merayakan malam pergantian tahun sampai-sampai leher saya dipukul petugas kemanan bersenjata lengkap, saya pernah merayakan tahun baru dengan membuat rusuh satu pengajian di alun-alun Jombang sampai-sampai diamankan petugas DLAJJ, saya pernah merayakan tahun baru dengan memodifikasi motor kesayangan saya dengan memasang knalpot racing yang harganya 50 ribu sampai-sampai besoknya motor saya harus turun mesin, saya pernah merayakan tahun baru dengan mabuk-mabukan, saya pernah merayakan tahun baru dalam kamar sambil gelisah karena tidak boleh keluar sama orang tua, saya pernah merayakan malam tahun baru dengan nonton film dalam kamar sendirian, saya pernah merayakan malam tahun baru dengan numpang truk kemana-mana, pernah juga saya merayakan tahun baru dengan nonton konser dangdut sampai tawuran dan kecopetan hanphone, saya pernah merayakan tahun baru dengan teman-teman satu kampung di warung kopi pangku sampai subuh, saya pernah merayakan malam tahun baru dengan menangis di kamar, saya pernah merayakan tahun baru bersama gadis-gadis sewaan di lokalisasi (cuma menggoda saja), saya pernah merayakan malam tahun baru dengan aktivis-aktivis kampus yang idealisnya seolah-oleh berani mati, saya pernah merayakan malam tahun baru dengan tentara yang sedang berburu ditengah hutan, saya pernah merayakan malam tahun baru dengan kencan di kebun bersama anak satu desa, saya pernah merayakan tahun baru dengan balapan liar, hingga saya pernah merayakan malam tahun baru dengan tawuran, dan banyak hal aneh dan sangat bodoh yang pernah saya lakukan saat merayakan malam pergantian tahun atau yang biasa kita sebut sebagai malam tahun baru. Saya tidak menyesali hal itu, tapi saya juga tidak bangga. Realitasnya memang begitu. Mungkin tak hanya saya saja yang melakukan hal bodoh dalam merayakan malam pergantian tahun, ada puluhan mungkin juga ratusan orang yang melakukan hal aneh, lucu, bodoh, tidak berguna, bahkan tidak wajar. Tapi ada banyak orang yang memilih melakukan hal baik serta berguna sewaktu malam tahun baru. Seperti mengaji, tahlilan, pengajian, syukuran, puasa, dzikir, sholat, bertapa, berkunjung kekeluarganya menyambung silahturrahmi, membersihkan dan mendoakan keluarganya yang sudah meninggal di pemakaman, berkarya, dan lain sebagainya. Ini bukan soal bagaimana cara kita menyikapi malam pergantian tahun, tapi mencoba kembali mengingat bahwa pergantian tahun masehi ialah makin tuanya usia bumi, mahkluk, dan makin dekatnya pada kehancuran yang di namakan dengan kiamat.

Sewaktu malam pergantian tahun dari 2016 menuju 2017, saya banyak melakukan hal-hal tak berguna dan malam itu seoalah-olah saya mengingat semua kenangan saya dari mulai kecil hingga kini. Semua berjalan begitu cepat, perkembangan zaman, gegap-gempita euforia teknologi, besarnya arus informasi, bebalnya manusia, makin tak kenal siapa diri mereka, buruknya moral, kontelasi yang memilukan, konspirasi yang sungguh menjebak, makin pendeknya umur manusia, eksploitasi besar-besaran, keserakahan tak henti, dan krisis eksistensi yang kurang ajar.

Semua berjalan beriring-iringan dengan antonimnya masing-masing. Sedangkan saya duduk di depan rumah dengan memandang semua orang sedang menyalakan sound dan memutar musik dangdut dengan keras di hampir perempatan dusun saya. Ibu saya yang sibuk mengupas rempah-rempah, ayah saya selalu duduk diam sambil memandang lalu-lalang anak kecil yang bermain, adik-adik saya yang menghabiskan waktu di depan layar handphone dan playstation. Mereka selalu begitu setiap tahun, kecuali adik-adik saya. Bagi kedua orang tua saya, tak ada yang menarik kecuali melihat anak-anak mereka nurut kepada mereka dan taat ibadahnya. Kadang kalah kita terlalu gelisah dengan pencapaian dan selalu melupakan kesederhanaan hidup dan tujuan utama kita.

Berkumpul bersama, memasak dan memanggang sate, memutar musik sekeras-kerasnya, berkaraoke, berkeliling kampung dengan motor yang bunyi knalpotnya seperti senapan laras panjang otomatis berkaliber 45, menghias rumah dengan lampu-lampu warna-warni, mabuk-mabukan, makan bersama, berbagi cerita mengenai pekerjaan mereka di perantauan masing-masing, menceritakan hal-hal lucu dan seram, memborong petasan dan kembang api hingga menghabiskan berjuta-juta, dan itulah dusunku. Bisa dikatakan setiap tahun beberapa hal diatas selalu dilakukan untuk merayakan malam pergantian tahun. Terganggung atau tidak?, jelas tidak. Karena semua sudah diatur, kita tinggal ikuti arah dan menjalani peran masing-masing sesuai dengan kehendak, lalu mati dan tanggung jawab serta di adili.

Saya pernah berbicara setinggi langit dengan banyak orang, dan saya menyesal karena tak pernah menjadi pendengar yang baik. Mungkin adakalanya kita biarkan saja diri kita terhanyut dan tenggelam di masa-masa yang suram. Mugkin dengan cara seperti itu kita bakal lebih mengerti dan merasakan sebuah kesadaran. Buku-buku masih menumpuk dikamar, baunya busuk. Semua yang di butuhkan sudah lengkap, semua yang di inginkan makin menggunung. Menunggu apalagi, habis pertanyaan timbul pernyataan. Zona nyaman mulai mengancam, apalagi yang ditunggu, ingin melakukan apa, mau jadi apa, tujuanmu apa, dulu niatmu bagaimana, pernahkah sekali memikirkan hal itu. Setiap hari saya memikirkan hal itu. Sambil menjalani rutinitas yang harus diselsaikan.
Lantas

Aku sering membual dan aku menyesal
Aku sering berbohong dan masih ku ulangi
Aku sering sombong dan nyatanya masih kulakukan
Aku sering oportunis sampai-sampai aku begitu selektif
Aku sering menyadari semua itu dan aku belum sadar

Ini bukanlah keinginan tapi ini mungkin sebuah kelakuan
Sedangkan semua masih berjalan sebagaimana mestinya
Ada atau tidak adanya aku, semua bakal tetap berjalan
Apa sebenarnya yang harus kulakukan

Menjalani peran sebagai seoarang anak
Menjadi manusia yang benar-benar manusia
Komitmen dan lebih taat sebagai khalifah di bumi
Menjadi muslim yang bernar-benar muslim dan bukan muslim-musiman
Berandai-andai sampai tua
Bermimpi sampai takbangun lagi
Terlelap sampai kalap
Maukah seperti itu

Sadar sampai bosan
Menunggu hidayah sambil berzinah
Sungguh munafik
Dan bagaimana selanjutnya

Haruskah demikian
Bertanya lalu menjawabnya
Teriak dan makin tersiksa
Atau bunuh diri dan hidup kembali

Nofianto Puji Imawan

Jombang, 01 Januari 2017.

0 komentar:

Posting Komentar

Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar