Kerumitan itu membelenggu siapapun yang tidak mengakui kenyataan.
Pikirannya dibatasi oleh kebebalan dalam belajar.
Sel-sel otaknya dibiarkan tak terisi hingga membusuk.
Keingintahuannyapun habis,
karena lebih suka membahas masalah
daripada melakukan hal-hal yang lebih berguna.
karena lebih suka membahas masalah
daripada melakukan hal-hal yang lebih berguna.
Alangkah sayangnya jika waktu dibiarkan berlalu
tanpa membuahkan hasil apapun dalam sepenggal perjalanan hidupnya
tanpa membuahkan hasil apapun dalam sepenggal perjalanan hidupnya
Siapa sangka kalau pertemuan ini akan berlangsung lama. Menyimpulkan puluhan kerumitan diwarung kopi, hanya dengan duduk dan menanyakan “apa password wi-fi”. Semua tenang dan sunyi, tak seperti awal pertemuan yang masih menutup-nutupi siapa dirinya sendiri-sendiri. Sungkan menjadi alasan untuk tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan takpasti yang selalu mengancam hargadiri. Semoga kelakuanku tidak seperti biasanya, maklum aku sedang berada disekeliling pemuda-pemuda pendiam yang jarang ngopi sampai pagi. Amanah kali ini seolah berat rasanya. “Menjaga nama baik”, semoga aku bisa menepatinya. Janji memang sukar untuk ditepati, atau memang begitu takdirnya.
Datang dengan gairah dan ketenangan yang diatur sambil begadang semalaman. Hanya untuk memastikan bahwa tak ada yang terlewatkan. Karena orang-orang yang kuhadapi sedikit bebal bahkan sukar diatur. Sepatutnya anak-anak harus benar-benar diajari sampai keakar-akarnya. Maklum, kalau dasarnya saja salah maka seterusnya tetap salah. Dekontruksi habis-habisan menjadi cara untuk menghilangkan sifat pragmatis yang menjadi trend disini. Mengubah cara pandang bahkan menunjukan fakta yang sesungguhnya, masih sulit diterima walau contohnya sudah banyak dialami.
Sampai dikota Reog (Ponorogo) atau kota “Seribu Berhala” (mungkin karena hampir disetiap sudut kota terdapat patung). Hawa mistis seperti menyambutku, mulai dari terminal dengan bangku-bangku yang sepi hingga rindang pohon di bahu jalan yang mengayun pelan seolah menyambutku. Semua itu semakin menambah kesan magis kota ini. Berbekal seadanya, aku menuju sebuah warung kopi. Ditemani beberapa aktivis-masokis yang sudah saling mengenal duduk bersama sambil terheran-heran dengan kedatanganku. Semua bertanya, kok yang diundang nofi ?. Begitu aku sampai dan kembali pulang, pertanyaan itu tak pernah terjawab dengan jujur. Untuk secangkir kopi saja aku harus berbohong, aku ingat kata seorang gondrong didepanku “ jangan sampai ada yang tau kamu sudah datang disini”. Semua handphoneku disita dan siapapun yang mencoba bertanya dimana keberadaanku, apakah aku sudah datang, dan dimana aku sekarang. Tidak ada yang tau. Sampai suara adzan membuka hati seorang gondrong dan menyadarkannya bahwa ia sudah membinggungkan banyak pemula yang lelah di digerbang Terminal Seloaji.
Malam disini lebih baik dibanding siang. Karena itulah aku lebih memilih tidur disiang hari dibanding tidur dimalam sunyi. Awal pertemuan yang dihakim mengenai perbincagan tentang perkembangan sebuah pergerakan yang penyakitan. Beberapa omongan terlontar tanpa sensor, vulgar bahkan provokatif. Tak ada peredebatan yang serius, karena banyak pemuda-pemudi ini cenderung pasif dan kurang gairah “loyo” mungkin terlalu banyak tidur dan jarang minum kopi di Wakoka (tempat Ngopi di Ponorogo yang terkenal karena free wi-fi dan enak dibuat diskusi, walaupun ada tempat Ngopi lainnya yang juga free wi-fi namun tidak seterkenal Wakoka). Seolah menjadi hakim, malam itu semuanya tegang karena terlalu melonggo dan terheran-heran mendengarkan lelaki gondrong yang merokok sembarangan berbicara tentang semua hal yang mereka tidak ketahui. Mungkin diskusi waktu itu membuat mereka susah tidur karena kaget dengan ucapan-ucapan gaya preman pinggir jalan.
Siapa saja bisa menjadi apa saja, asal ia mau untuk tidak kompromi pada dirinya. Belum kenal siapa dirinya, taktau apa yang menjadi tujuannya, masih binggung dengan banyak pilihan dalam hidupnya, belum mampu mendefinisikan apa yang menjadi maunya. Sudah duduk didepanku dengan tatapan kosong, berharap mendapat banyak hal atas apapun yang kubicarakan didepan. Itulah kondisi awal pemuda-pemudi pondok’an yang sudah berani mesum (pacaran) di sebuah masjid kampus dengan berkedok jama’ah atau kerja kelompok. disini semuanya menipu, mulai dari orang-orangnya, budayanya, omongannya, bahkan kejujurannya. Walaupun yang sebenarnya sama-sama tidak diketahui. Menipu itu kejujuran orang untuk mengakui ketidakmampuannya jujur dan rela dengan banyak kekurangannya.
Mendogma setiap orang tanpa kompromi, totalitas tanpa henti yang kadang membuat lelah dirisendiri. Seakan dibayar dengan bebrapa gelas kopi dan suasana warung yang melankolis. Setiap hari berganti tempat ngopi hingga tiada pernah sekalipun malam disini yang tanpa ngopi. Namun itu semua harus dibayar dengan saran-saran tentang bagaimana semua masalah ini harus berbuah solusi. Masalah yang mengakar kuat akibat dendam sejarah dan wanita. Selalu mencumbu pikiranku yang lelah dengan kesibukan-pikir atas amanah yang sudah dipercayakan padaku. Tanggung jawab adalah komitmen seorang laki-laki disetiap perjalanannya.
Berkumpul dengan orang-orang yang sukar menempatkan diri. Semua serba butuh keingintahuan lebih tanpa tujuan yang pasti. Bagaimana mungkin menerima saran tanpa ada kemajuan dalam melakukan setiap tindakan. Keingintahuan yang hanya sekedar isapan jempol-belaka. Ingin belajar namun sudah diberi arah malah malas melakukan perubahan. Padahal untuk dirinya sendiri. Memang penyesalan selalu datang belakangan. Kebebalan yang sudah menjadi pedoman, sampai-sampai lupa bahwa dirinya sendiri masih kurang. Sudah tau begitu masih saja belajar, “hey diluar sana masih banyak yang lebih lagi, jangan puas dulu dong. Takabur itu larangan bagi umat-Nya (kalau merasa)”. Ketika semua sudah diberikan dan tinggal menjalankan apa yang menjadi kewajiban, malah semuanya menyepelekan. Ingin terus didampingi belajar namun enggan berusaha semaksimal mungkin ya, sudah tau bohong itu dosa kenapa masih dilakukan, sudah tau lapar kenapa masih tidak mau makan, sudah tau, sudah tau, sudah tau, dan bla, bla, bla, bla. Bukan kesal atau marah, namun itu adalah bentuk kekecewaan saat apa yang dianjurkan tidak segera dilaksanakan maka layaknya seorang manusia yang berakal, maka sifat kemanusiwaiannya akan muncul dan terus muncul. Seperti api yang lama-lama akan redup kalau kayunya habis.
Semuanya sudah dilewati, apa yang diinginkan sudah didapat, pertanyaan demi pertanyaan sudah dijawab. Tinggal melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Kalau memang sudah tau kenapa masih ditanyakan. Itulah yang disebut dengan pendalaman, untuk lebih bisa memahami apa yang harusnya dipahami. Bukan saja untuk diketahui dan dimengerti namun juga perlu yang namanya pemahaman. Waktu memang semakin cepat, atau memang kita yang semakin lalai untuk merasakannya. Membicarakan apapun yang memang perlu dibicarakan. Sekadar pengantar tidur yang sampah. Jika hanya dicerna mentah-mentah tanpa diambil hikmahnya, maka sampah tetaplah sampah.
Memelaskan dengan sedikit merendahkan kepala sambil berbisik “bang kedepannya kita ini harus bagaimana”. Pertanyaan yang selalu terniang-niang dipikiranku. Mendampingi itu tidak selalu dan seterusnya, namun perlu waktu untuk melepasnya. Melepasnya pun tidak semerta-merta cul-culan namun perlu pemantauan dan komunikasi yang intens untuk mengetahui bagaimana perkembangannya dan sampai mana. Disini pola komunikasi dan hubungan yang kurang akrab membuat banyak diantara mereka terjerat masalah yang hingga sekarang masih membelenggu hingga sulit untuk menyelsaikan masalah yang timbul dan tenggelam.
Sudah kubilang jangan hindari masalah perkelaminan. Pacaran sesama organisasi. Karena itu sebenarnya penyebab awal masalah kalian sekarang. Dendam sejarahpun semakin memperkeruh pola komunikasi yang menjadi sumber masalah. “nyiram kobong’am karo bensin, yo tambah gede genine”. Masalah kalian sebenarnya bisa diselsaikan dengan saling mengetahui satu sama lain. Mengenal yang benar-benar kenal. Bukan sekadar megenal nama dan mengenal asalnya. Sama saja membeli kucing dalam karung. Katanya-katanya saja, coba cari pengalaman yang lebih otentik. Bagaimana bisa kalian bilang api itu panas kalau belum pernah benar-benar menyetuh api itu. Rasakan benar-benar coba lebih peduli dengan yang lainnya jangan oportunis. Atau egois, kalian tidak dididik seperti itu. Cari tau sejarah kalian, jangan ujuk-ujuk bertanya pertanyaan nomor tujuh kalau pertanyaan nomor satu belum mampu kalian jawab.
Sesampainya semua kegelelisahan dan mencoba menjawab banyak pertanyaan. Malam-malam semakin menunjukan sunyinya. Akupun taktau ini hari apa. Semua serba misteri karena kenyamanan khas warung kopi di Ponorogo.
Perbincanan dengan lelaki tua penjual tisu hingga dua pemuda polos yang tak biasa ngopi sampai pagi sampai berujung di warung pecel di belakang pasar. Semakin menjadi jelas bahwa semua ini berawal dari masalah perkelaminan yang membuat dendam sejarah antar generasi. Namun sebelum itu wanita kurus yang mendadak gemuk dan penyakitan itu selalu menghantuiku dengan kejujuran dan permintaan-pemintaan tulus khas wong kulonan. Semua semakin terasa magis, Ponorogo adalah bentuk kekecewaan orang-orang diam yang sengaja bersembunyi ditengah kenyamanan warung-warung yang mulai menjamur dibanyak sudut kota.
Aku masih ingat siapa saja mereka, perbicangan apa saja yang mereka bicarakan, apa saja kebiasaan mereka, bagaimana sebenarnya mereka, dan apapun tentang mereka yang mereka sendiri kurang mengetahuianya. Seperti biasanya pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Sebuah analogi atau metafor apapun mungkin tak bisa mewakili hal ini. Begitu banyak hal yang awalnya kusepelekan menjadi begitu berharga setelah sepulangku dari kota ini. Setidaknya banyak yang kuperoleh. Semenjak dini hari di tempat kumuh bernama “sekertariat Al-Millah” hingga warung kopi bernama “Wakoka”. Aku mungkin mulai percaya bahwa masih ada nasi yang harganya dua ribu rupiah dan kopi dua ribu bahkan seribu lima ratus rupiah. Seharusnya kita bisa menjadi do’a-do’a bagi banyak manusia lainnya untuk tidak mudah menyepelekan usaha-usaha sepele untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan modernitas yang muncul. Hakim-hakim globalisasi yang menyingkirkan ploretar menuju jahanam.
Disini berbeda dengan disana
Semua yang murah jadi mahal harganya
Semua yang sunyi jadi ramai rasanya
Semua yang baik mungkin acuh nyatanya
Jadi baik-baik sajalah
Karena semua yang terlihat
Tidak sama dengan aslinya
Nofianto Puji Imawan
Al-Millah Ponorogo, 25-30 September 2015