Senin, 06 Juli 2015

Bla, Bla, Bla...

Hemat kata yang digunakan untuk mewakili sebuah hal yang sudah diketahui secara umum. Jika saya membacakan pancasila kepada anda yang juga sudah tahu dan hafal betul pancasila, walau belum bisa mengamalkanya. Setidaknya saya tidak akan menjabarkan pancasila dari satu sampai lima, namun hanya membacakan sila pertama lalu saya teruskan dengan kata Bla, Bla, Bla... karena saya rasa anda sudah tau dan tidakperlu saya jabarkan secara jelas bunyinya karena di KTP anda bangsa indonesia dan wajib tahu apa itu pancasila. Demi sebuah efektifitas atau efesiensi yang selalu menjadi alasan agar meminimalisir pemborosan, dan ketidakbergunaan yang selalu dan selalu dilakukan.

Setidaknya kita mengetahui, apa yang seharusnya menjadi penting bagi kita, ternyata tak selalu penting bagi orang lain. Begitu juga kepentingan orang banyak, yang selalu kita anaktirikan bahkan kita acuhkan. Seperti hal sederhana saja, masih adakah orang yang mengingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya, kecuali aktivis lingkungan atau Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam), kadang merekapun juga acuh. Apakah masih banyak orang yang selalu mengingatkan kita agar berkata jujur dan tidak boleh berbohong, jarang sekali bukan. Ketakutan mengenai terkikisnya kesadaran dan mewabahnya ketidakpedulian orang terhadap orang lain bakalan tak terhindarkan. Karena setiap orang semakin ambisius dan terobsesi untuk mengejar apapun yang mereka inginkan. Semua hidup berdasarkan keinginan bukan kebutuhan.

Maka tak usah heran jika semua yang seharusnya cukup, menjadi tak cukup. Seperti SDA (Sumber Daya Alam) yang sudah menipis, dan mungkin akan habis. Tapi biarlah, itukan Bla, Bla, Bla... sebenarnya semua itu disediakan oleh pencipta dengan perhitungan yang pas dan tidak mungkin tidak cukup, dan yang membuat itu tidak cukup adalah kita sendiri. Dengan membiarkan hasrat, nafsu, keserakahan, untuk mendominasi akal dan nurani.

Setiap waktu yang kita habiskan adalah wujud dari bagaimana kita menentukan pilihan dan sikap atas banyak hal yang terjadi diluar diri kita. Mungkin kita lebih memilih untuk tetap menjalankan aktivitas dan rutinitas ditengah kriminalisasi pejabat KPK, eksploitasi SDA (migas, emas, air, batu bara), hukuman mati Bali Nine, kisruh APBD DKI, sanitasi Tarakan, reklamasi Bali, busung lapar Ponorogo, dualisme parpol, begal, tidak stabilnya harga beras, dan Bla, Bla, Bla... daripada mencoba memperbaiki masalah kecil disekitar kita, atau bahkan masalah didalam diri kita sendiri. Namun masalah yang terus digulirkan bak bola panas oleh media massa ternyata lebih mendominasi dibandingkan dengan masalah yang seharusnya lebih dahulu kita selsaikan. Sehingga kita sering terlena dan lupa bahwa kita sendiri belum mampu menyelsaikan masalah-masalah kita sendiri, malah sok-sok’an mencoba menyelsaikan masalah yang ada diluar diri kita sendiri. Begitu banyak intelektual, cendekeian, pejabat, pengusaha, aktivis, LSM, organisasi, lembaga, kelompok, komunitas, penegak hukum, dll. Itupun belum mampu menyelsaikan masalah bangsa ini. Apalagi kita yang menyelsaikan masalah diri sendiri saja belum mampu. Bukan berarti pesimistis untuk sebuah kelebihbaikan. Tapi lebih kepada sadar peran dan tau diri untuk mengetahui posisi dalam sebuah dinamika dan ruang yang besar ini (semesta).

Setiap hari dihadirkanlah masalah-masalah yang bisa membuat kita resah dan juga berfikir. Resahnya, tentang benarkah sebegiturumitnya masalah bangsa Indonesia ini. Berfikirnya, apa benar yang ditunjukan oleh media massa setiap harinya itu memang nyatanya terjadi. Media massa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik, media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukan apa yang hendaknya diperhatikan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat (Kurt Lang & Gladys Engel Lang : 1959). Sederhananya, sekarang media gencar mengangkat masalah begal yang menjamur dan meresahkan warga, sehingga membuat pihak penegak hukum seperti polisi gencar melakukan operasi dijalan-jalan secara serentak dan rutin. Dan semenjak itu banyak sekali pelaku-pelaku begal tertangkap. Namun berbeda dengan diMadura saat ini. Menurut pengalaman saya, setiap hari disini sangat banyak pembegalan, perampokan, penjambretan, dll. Namun kenapa tidak menjadi sorotan media dan tidak menjadi isu nasional. Dan anehnya kenal begal baru heboh tahun ini, lawong diMadura sudah rutin kasus pembegalan setiap tahunya dan Bla, Bla, Bla... Begitulah media massa yang juga Bla, Bla, Bla... Semuanya yang ada didalamnya bukanlah yang sebenarnya, namun sebuah konstruksi atas realitas yang disebut realitas media. Bahayanya, jika kita mengamini hal itu berarti kita sudah dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai media, dan informasi sehingga kita mudah untuk dikendalikan sesuai dengan keinginan mereka dan Bla, Bla, Bla... Sudah tidak peduli, tidak mengenal diri sendiri, dikendalikan pula. Mudah sekali menjadi apa yang bukan kita, namun susah sekali menjadi yang sungguh-sungguh kita.

Untuk mempersingkat, maka kita ucapkan Bla, Bla, Bla... dengan jelas tanpa harus mengurangi isi dari ucapan atau kata tersebut. Mencoba menelaah dan menyaring segala realitas tanpa maksud untuk menyederhanakan atau mengurangi kandungan makna, simbol, dan pesan yang ada didalamnya. Menghilankan kemalasan untuk menjelaskan sesuatu yang panjang, banyak, bertumpuk-tumpuk, sama artinya, dan sudah diketahui secara umum atau luas dengan Bla, Bla, Bla... adalah bentuk efektifitas dan efesiensi yang harus dilakukan dengan bijak dan arif. Sebab Bla, Bla, Bla... bukanlah penyederhana atau penyingkat yang bisa disimpulkan positif dan memiliki arti yang sama diantara begitu variatif interpretasi orang-orang yang begitu relatif. Jadikan Bla, Bla, Bla... menjadi rujukan atas kebaikan untuk tidak mengulangi kesalahan atau ketidakbergunaan dalam setiap aktivitas dan rutinitas yang selalu kita lakukan. Mengerti sebuah batasan adalah kesadaran yang jarang dimiliki, mengenal diri sendiri adalah kemampuan yang jarang dimiliki manusia dunia ketiga, sedangkan kemunafikan sudah mengakar disetiap hati dan benak manusia-manusia yang dikatakan “kebanyakan atau keseluruhan”.

Bla, Bla, Bla... memang bisa mewakili banyak kata atas kompleksnya realitas. Setidaknya ia dapat menampung berton-ton beban dari dunia yang sulit dijelaskan dan rumit untuk dijabarkan apalagi lafalkan. Maka Bla, Bla, Bla... akan berevolusi menjadi sebuah perwakilan kata yang bisa menjelaskan keseluruhan maksud dan pesan yang panjang untuk disampaikan kepada banyak manusia. Sehingga tidak ada sebuah seksis atau rasis dalam sebuah kata atau kalimat yang dilafalkan. Cukup mengucap Bla, Bla, Bla... kita sudah dapat mengerti apa maksud dari apa yang ingin kita sampaikan atau sebaliknya. Selayaknya Dubes Negara Indonesia yang berada di Malaysia, dimana Dubes itu sama saja mewakili bangsa Indonesia di Malaysia. Untuk sebuah keinginan atas terciptanya kebaikan disetiap harinya, sehingga Bla, Bla, Bla... akan seperti karung berisi banyak benda yang bisa mengeluarkan apa saja yang kita inginkan.

Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla... Dan Bla, Bla, Bla...  *